Saturday, April 19, 2014

COPD : Indacaterol sebagai Bronkodilator Kerja Panjang untuk PPOK

BERITA TERKINI
CDK ed_180 Sept'10 OK.indd 517 8/26/2010 3:39:05 PM
| SEPTEMBER - OKTOBER 2010 515

      Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara pada saluran pernapasan yang tidak sepenuhnya reversibel. Saat ini PPOK menjadi penyebab kematian keempat terbanyak di seluruh dunia. Diperkirakan pada tahun 2020, PPOK akan menjadi penyebab kematian nomor 3 terbanyak di seluruh dunia. Beberapa penyakit yang termasuk di dalam kelompok besar penyakit PPOK adalah emfisema, bronkitis kronik dan penyakit saluran nafas kecil (small airway disease).
     PPOK adalah penyakit yang bersifat kronik progresif, yang berarti perjalanan penyakit ini akan berlangsung terus dengan kecenderungan memburuk; oleh karena itu kepatuhan penderita dalam pengobatan adalah salah satu faktor penting untuk keberhasilan terapi.
      Salah satu cara meningkatkan kepatuhan penderita dalam pengobatan adalah dengan mengurangi frekuensi pemakaian obat dalam sehari. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) merekomendasikan penggunaan bronkodilator seperti golongan beta-2 agonis dan antikolinergik sebagai terapi simtomatik PPOK.
     Indacaterol sebagai bronkodilator inhalasi golongan beta-2 agonis mempunyai waktu kerja yang panjang mencapai 24 jam (ultra long acting bronchodilator) sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan berobat pasien PPOK. Sebuah uji klinis fase III dengan sampel sebanyak 416 pasien PPOK menilai efikasi dan keamanan dari indacaterol. Disain penelitian ini acak, multi senter, tersamar ganda dan kontrol plasebo selama 12 minggu. Tujuan studi ini adalah untuk menilai efikasi dan keamanan indacaterol dibandingkan dengan plasebo pada pasien PPOK derajat sedang dan berat. Intervensi yang diberikan adalah pemberian indacaterol sekali sehari (n=211) atau plasebo (n=205) melalui dry powder inhaler dosis tunggal.
    Hasil studi ini menunjukkan adanya perbedaan FEV1 (Volume Ekspiratori Paksa pada detik pertama) yang signifikan antara indacaterol dibandingkan dengan plasebo pada hari pertama terapi dan minggu 12 yaitu sebanyak 190 ± 28 ml (p<0,001) dan 160 ± 28 ml (p<0,001). Indacaterol secara bermakna juga menurunkan jumlah hari kontrol yang buruk (day of poor control) sebanyak 22,5% dibandingkan plasebo (p<0,001) dan secara signifikan menurunkan pemakaian obat-obat untuk ”rescue medication” (p<0,001).
     Efek samping Indacaterol dibandingkan dengan plasebo tidak berbeda bermakna (indacaterol 49,3% dan plasebo 46,8%); yang terbanyak adalah perburukan episode PPOK (indacaterol 8,5 , plasebo 12,2 %) dan batuk (indacaterol 6,2 %, plasebo 7,3%) Indacaterol merupakan bronkodilator golongan beta-2 agonis dengan waktu kerja 24 jam (ultra long acting bronchodilator) yang secara bermakna menurunkan volume ekspiratori paksa 1 detik pertama (FEV1), day of poor control dan penggunaan obat-obatan ”rescue medication” dibandingkan dengan plasebo. Selain itu efek samping indacaterol tidak berbeda bermakna dengan plasebo. n (ASL)


Daftar Pustaka

  1. Feldman G, Siler T, Prasad N, et al. Efficacy and Safety of Indacaterol 150 μg once-daily in COPD: a double-blind, randomised, 12 week study. BMC Pulmonary Medicine 2010.10;11
  2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD): Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease, Updated 2008.[Accessed: 04 March 2010].

COPD : Peranan Penuaan dan Senescence Selular dalam Patogenesis PPOK

224 J Respir Indo Vol. 31, No. 4, Oktober 2011

Ferry Dwi kurniawan, Sita Laksmi Andarini, Faisal Yunus
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – SMF Paru RS Persahabatan,Jakarta

          Abstract
   Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) prevalence in the elderly is increasing. During aging, lung structure and function deteriorate and increase pathogenetic susceptibility to COPD. Aging is a progressive decline of homeostasis that occurs after the reproductive phase of life is complete and leading to an increasing risk of disease or death. Failure of organs to repair DNA damage by oxidative stress and telomere shortening as a result of repeated cell division contribute to aging. Cellular senescence is a state of irreversible growth arrest induced either by telomere shortening (replicative senescence) or by telomere-independent signals (stress-induced premature senescence). Cellular damage caused by aging and cigarette smoking induces apoptosis and it increases cell cycle turnover as a compensatory. In addition, aging and smoking cause cellular senescence and cause cellular proliferation to stop. This apoptosis-proliferation imbalance review will discuss aging and cellular senescence role in COPD pathogenesis.
Key words: chronic obstructive pulmonary disease; aging; cellular senescence; telomere; apoptosis; proliferation

          Abstrak
   Prevalens Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada orang tua semakin meningkat. Struktur dan fungsi paru selama proses penuaan menjadi terganggu dan menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap PPOK. Penuaan merupakan penurunan keadaaan homeostasis secara progresif setelah fase reproduktif kehidupan tercapai sehingga menimbulkan peningkatan risiko penyakit atau kematian. Kegagalan organ dalam memperbaiki kerusakan DNA yang disebabkan stres soksidatif dan pemendekan telomer akibat pembelahan sel yang berulang menyebabkan penuaan. Senescence selular merupakan berhentinya pembelahan sel ireversibel yang disebabkan oleh pemendekan telomer (senescence replikatif) atau sinyal yang tidak tergantung telomer (senescence prematur). Kerusakan sel yang disebabkan penuaan dan merokok mencetuskan apoptosis dan meningkatkan penggantian siklus sel sebagai mekanisme kompensasi. Penuaan dan merokok juga menyebabkan senescence selular dan berhentinya proliferasi sel. Ketidakimbangan apoptosis-proliferasi
pustaka ini akan membahas peranan penuaan dan senescence selular dalam pathogenesis PPOK.
Kata kunci: penyakit paru obstruktif kronik; penuaan; senescence selular; telomer; apoptosis; proliferasi

PENDAHULUAN

      Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik menempati urutan kelima penyakit terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2002 dan akan menempati urutan ketiga terbanyak pada tahun 2020.1 Prevalens PPOK pada laki-laki sekitar 8,5-22,2% dan pada perempuan sekitar 5,1-16,7% secara global, sedangkan prevalens PPOK pada orang dewasa dengan usia di atas 40 tahun sekitar 9-10%.2 Tingkat morbiditas dan mortalitas juga meningkat dengan jumlah kematian 30.000 jiwa per tahun di Inggris. Sedangkan di Amerika Utara, PPOK merupakan penyebab kematian ke-4.3 Tingkat morbiditas dan mortalitas serta biaya kesehatan diperkirakan meningkat dalam dua dekade ke depan seiring dengan peningkatan jumlah populasi usia tua.1
Prevalens PPOK dipengaruhi oleh faktor penuaan. Secara teori, manusia sehat dengan usia di
*
VV—Š
J Respir Indo Vol. 31, No. 4, Oktober 2011 225
Gambar 1. Konsep penuaan.
Dikutip dari (9)
Proses penuaan merupakan akumulasi defek selular akibat kerusakan molekular yang disebabkan secara acak oleh stres, pajanan lingkungan dan nutrisi yang buruk. Mekanisme genetik dalam merawat serta memperbaiki sel dan organ mempengaruhi tingkat penuaan dan masa hidup organisme. Gaya hidup sehat dan nutrisi sehat dapat mengurangi akumulasi selular yang terjadi. Selanjutnya akumulasi terhadap defek yang tidak dapat diperbaiki dan bukan sebagai respons lini pertama terhadap stres lingkungan memperberat defek selular yang sudah berlangsung selular pada akhirnya mengakibatkan organisme menjadi renta, cacat dan sakit. Konsep penuaan tersebut ditampilkan pada gambar 1. Perlindungan terhadap kerusakan dilambangkan dengan warna hijau sedangkan kerusakan dilambangkan dengan warna merah. Panah hitam menunjukkan kerusakan yang terjadi akibat reaksi intrinsik biokimiawi.9

PPOK MERUPAKAN PENUAAN PARU DINI

        Hubungan fungsi paru dengan usia ditampilkan dengan kurva fungsi paru-usia pada gambar 2.
Fungsi paru mulai meningkat sejak lahir hingga mencapai puncaknya sekitar usia 18-25 tahun senilis.kerusakan struktur alveolar yang ireversibel dan disertai pembesaran alveolar. Kerusakan struktur alveolar disebabkan oleh apoptosis sel alveolar.5-7
Hipotesis patogenesis PPOK yang telah ada yaitu ketidakimbangan protease-antiprotease dan ketidakimbangan oksidan-antioksidan belum dapat menjelaskan beberapa pertanyaan seperti

  1. Bagaimana sel alveolar yang mengalami apoptosis memburuk secara progresif seiring dengan   proses penuaan?
  2. Mengapa PPOK tetap memburuk walaupun pasien telah berhenti merokok?
  3. Bagaimanakah hubungan antara usia pasien, proses menunjukkan keterlibatan mekanisme epigenetik dan mekanisme senescence selular yang berperan dalam proses penuaan.8 Pemahaman lebih dalam mengenai mekanisme ini dapat membantu kita untuk menentukan kelompok risiko dan menentukan landasan penatalaksanaan baru yang lebih potensial.4

KONSEP PENUAAN

  Penuaan merupakan penurunan keadaaan homeostasis secara progresif setelah fase reproduktif kehidupan tercapai sehingga menimbulkan peningkatan risiko penyakit atau kematian. Penuaan secara biologis dikaitkan dengan usia kronologis namun penuaan secara dini dapat terjadi di awal kehidupan sebagai kegagalan dalam merawat serta memperbaiki sel dan organ karena kerusakan Deoxyribose Nucleic Acid (DNA). Penuaan dapat terjadi secara tidak terprogram karena kegagalan organ untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat stres oksidatif atau terprogram karena pemendekan telomer setiap kali sel membelah. Konsep penuaan yang diajukan Kirkwood melibatkan peran genetik, lingkungan, dan faktor peluang intrinsik dalam proses penuaan.kemudian fungsi paru terus menurun seiring dengan bertambahnya usia. Fungsi paru pada pasien PPOK lebih cepat menurun dibandingkan orang normal dengan usia yang sama. Penurunan fungsi paru tersebut berupa nilai VEP1 yang turun sebesar 50-100 ml/tahun pada pasien PPOK sedangkan nilai VEP1 sebesar 20 ml/tahun pada orang normal dengan usia yang sama. Sehingga pada pasien PPOK, kurva fungsi paru usia tersebut bergeser ke kiri. Selama proses penuaan, fungsi paru memburuk disertai struktur parenkim paru yang berubah.
   Pajanan lingkungan seperti asap rokok yang menimbulkan spesies oksigen reaktif (SOR) dapat mempercepat penurunan fungsi paru. Kegagalan menjaga organ akibat kerusakan DNA, stres oksidatif dan pemendekan telomer menyebabkan proses penuaan menjadi lebih cepat.11-14
Gambar 2. Hipotesis perjalanan PPOK karena proses penuaan yang lebih dini.
Dikutip dari (13)
ditandai dengan rekoil elastik paru yang menurun, dinding dada yang lebih kaku dan kekuatan otot pernapasan yang melemah. Perubahan ini menyebabkan penurunan nilai KVP/VEP1 dengan volume residu yang meningkat.15 Perubahan respirasi pada paru yang menua terhadap keadaan napas. Persamaan lainnya antara paru yang menua dan paru pada pasien PPOK yakni peningkatan selama proses penuaan dan lebih menurun lagi pada PPOK. Perbandingan antara paru yang menua dengan paru pada pasien PPOK ditampilkan pada Tabel 1.))")-
Tabel 1. Perbandingan antara paru yang menua dengan paru pada pasien PPOK
Dikutip dari (11-15)
797 +79+7 SELULAR
Sel terus menerus mengalami stres dan kerusakan dari sumber eksogen dan endogen.
Respons yang terjadi bisa berupa sel membaik secara penuh, sel berhenti membelah atau sel mengalami apoptosis. Pada keadaan normal, sel akan terus menerus membelah hingga tercapai batas dapat membelah hingga 50-70 kali pada kondisi kultur jaringan dan kemudian akan berhenti membelah. Hilangnya kemampuan replikasi secara keseluruhan dan ireversibel yang terjadi pada sel somatik senescence selular.16 Sel yang mengalami senescence mempunyai bentuk sel yang ireguler, volume sel yang lebih besar, jumlah lisosom yang lebih banyak, mitokondria yang abnormal serta abrasi inti sel yang multipel. Gambar 3 menampilkansenescence (b) pada dapar Formalin 10% dan diwarnai menggunakan
juga oleh stres eksternal seperti stres oksidatif
(senescence prematur).16,21 Gambar 4 menampilkan sumber penyebab kerusakan DNA dan akibat yang ditimbulkannya. Kerusakan DNA dapat ditimbulkan dari sumber eksogen seperti sinar ultraviolet (UV) dan sumber endogen seperti hasil metabolisme berupa SOR, hidrolisis dan alkilasi. Kerusakan DNA yang terjadi menimbulkan dua akibat. Bila terjadi misreplikasi atau segregasi kromosom aberans maka akan menimbulkan perubahan permanen berupa mutasi atau kromosom aberans yang meningkatkan risiko kanker. Bila terjadi gangguan transkripsi atau replikasi maka akan menimbulkan siklus sel tertunda atau berhenti serta apoptosis sel yang akan berperan dalam proses penuaan.22
Gambar 4. Sumber penyebab kerusakan DNA dan akibat yang ditimbulkan.
Dikutip dari (22)

PEMENDEKAN TELOMER

Telomer merupakan bagian ujung kromosom dengan panjang sekitar 5-10 kb (kilo basepair) berupa urutan TTAGGG yang berulang pada leading strand. Telomer berfungsi melindungi DNA dari degradasi dan rekombinasi sehingga dapat menunjang stabilitas kromosom. Di hampir semua pewarnaan Hematoxylin Eosin yang mengalami senescence mencapai pembelahan ke-68. Tanda panah besar menunjukkan inti sel ganda dan tanda panah kecil menunjukkan inti sel berukuran kecil.17 
senescence (b).
Dikutip dari (17)
     Terdapat 2 hipotesis yang menjelaskan mengapa sel mengalami senescence. Hipotesis pertama yakni senescence selular merupakan mekanisme untuk menekan pertumbuhan tumor. Hipotesis ini berdasarkan fakta sel kanker terus menerus membelah tanpa batas pada kondisi kultur. Dalam konteks ini, respons senescence yang terjadi menguntungkan organisme karena melindungi organisme terhadap kanker. Sedangkan hipotesis kedua, senescence selular sebagai rekapitulasi proses penuaan. Hipotesis ini berdasarkan fakta proses perbaikan dan perawatan sel dan organ berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Dalam konteks ini, senescence selular dianggap merugikan karena mengganggu fungsi dan regenerasi jaringan.18-20
    Mekanisme molekuler yang berkaitan dengan senescence selular yaitu akumulasi kerusakan epigenetik DNA, peningkatan produksi radikal bebas dan peningkatan kerusakan protein serta pemendekan telomer. Senescence selular tidak hanya terjadi setelah batas pembelahan terlampaui (senescence replikatif) namun dapat ditimbulkan sel somatik, telomer akan memendek setiap kali siklus sel berjalan karena DNA polimerase sulit mencetak urutan DNA di bagian ini. Ketika panjang telomer menjadi memendek hingga batas proliferasi terlampaui maka senescence selular pun terjadi.
     Pemendekan telomer merupakan riwayat replikasi serta gambaran akumulasi stres oksidatif dan panjang telomer merupakan penanda usia biologis setidaknya di tingkat selular. Semakin pendek telomer menunjukkan semakin bertambah usia biologis. Sel lekosit perifer sering digunakan untuk mengukur panjang telomer pada manusia.23 Panjang telomer sel lekosit menggambarkan panjang telomer di sel-sel tubuh lainnya. Panjang telomer sel lekosit memendek sekitar 20-60 bp setiap tahun seiring dengan bertambahnya usia. Pemendekan telomer sel lekosit juga dihubungkan dengan tingkat ketahanan hidup yang lebih rendah.24
    Telomer berada di ujung kromosom terdiri dari urutan heksamer TTAGGG pada leading strand dan CCCTAA pada lagging strand. Protein-protein yang melindungi telomer dinamakan Shelterin terdiri dari protein TRF1, TRF2, TIN2, POT1, TPP1 dan RAP1. Ujung rantai 3`dari leading strand menggantung bebas sebagai rantai tunggal yang melipat dan kemudian menduduki kembali susunan rantai ganda telomer membentuk lingkaran yang dinamakan T loop. Struktur telomer tersebut ditampilkan dalam
     Gambar 5 (a). Pada (b), telomer berada di ujung kromosom terlihat secara langsung di bawah mikroskop menggunakan hybridization (FISH) saat metafase. Panjang telomer sel lekosit berkurang seiring dengan bertambahnya usia ditampilkan pada (c). Saat lahir panjang telomer sekitar 11 kb dan saat usia 90 tahun berkurang menjadi sekitar 6 kb.25
     Sel alveolar mengalami senescence dengan berbagai mekanisme. Mekanisme pertama, sel alveolar berulang kali membelah akibat meningkatnya sel alveolar yang mengalami apoptosis serta senescence replikatif.
Gambar 5. Struktur telomer (a) dan gambaran telomer saat metafase (b) serta hubungan antara panjang telomer dengan usia (c).
Dikutip dari (25)
     Hal ini dibuktikan dengan ditemukan pemendekan telomer pada sel alveolar dan sel-sel alveolar mengalami senescence prematur yang tidak tergantung dengan pemendekan telomer. Hal ini dibuktikan dari penelitian Tsuji dkk26 yang menunjukkan pajanan asap rokok menyebabkan sel alveolar mengalami senescence prematur akibat peningkatan stres oksidatif. Penelitian lain yang dilakukan Morla dkk27 dengan mengukur panjang telomer sel lekosit perokok dengan fungsi paru normal, perokok dengan PPOK dan subjek yang tidak pernah merokok. Hubungan antara panjang telomer relatif dengan usia serta hubungan panjang telomer relatif dengan banyaknya pajanan merokok ditampilkan dalam gambar 6. Pada (a) tidak terdapat hubungan bermakna antara panjang telomer dengan usia pada subjek yang tidak pernah merokok.
    Sedangkan pada (b) terdapat hubungan bermakna antara panjang telomer dengan usia pada perokok baik yang memiliki fungsi paru normal ataupun dengan PPOK. Hubungan panjang telomer dengan banyaknya pajanan merokok ditunjukkan pada (c). Hasil penelitian ini menunjukkan asap rokok dapatmenimbulkan senescence. 27
Gambar 6. Hubungan antara panjang telomer relatif dengan usia pada bukan perokok (a) dan perokok (b) serta banyaknya pajanan
Dikutip dari (27)

MEKANISME PENGENALAN, PEMBERSIHAN DAN PENGGANTIAN SEL APOPTOSIS

    Berbagai bentuk kerusakan yang membahayakan sel dapat memicu terjadinya apoptosis. Sel yang mengalami apoptosis lalu dibersihkan melalui proses fagositosis. Pembersihan sel yang mengalami apoptosis tidak hanya dilakukan sel endotel, sel epitel, otot polos dan sel stroma.
     Proses tersebut berjalan sangat cepat bahkan dengan respons jaringan yang minimal karena seperti secretory leukocyte protease inhibitor (SLPI). Pengenalan sel apoptosis memicu faktor pertumbuhan sel sehingga sel apoptosis tersebut segera diganti. Proses pengenalan, pembersihan dan penggantian sel apoptosis pada PPOK mengalami gangguan. Hal ini terjadi karena asap rokok mencetuskan senescence 
    Akibat dari kegagalan proses tersebut menimbulkan penurunan tingkat proliferasi. Kegagalan proses tersebut pada akhirnya berperan menimbulkan proses pengenalan, pembersihan dan penggantian sel apoptosis secara normal ditampilkan dalam gambar 7 (a). Asap rokok dapat menimbulkan cedera pada sel. Selanjutnya sel tersebut mengalami apoptosis. Sel yang mengalami apoptosis dikenali oleh makrofag ataupun oleh sel di sekitar dan selanjutnya terjadi proses fagositosis. Kemudian terjadi proses penggantian sel baik secara lokal oleh sel di sekitar ataupun oleh sel progenitor.
    Sel di sekitar melakukan replikasi sehingga sel yang mengalami apoptosis dapat tergantikan. Sedangkan proses pengenalan, pembersihan dan penggantian sel apoptosis yang mengalami gangguan pada PPOK ditampilkan pada gambar 7 (b). Sel yang mengalami cedera karena asap rokok tidak dapat diperbaiki oleh sel epitel bersilia di sekitar. Untuk menjaga integritas struktur, sel epitel bersilia di sekitar berusaha menempati tempat sel yang mengalami apoptosis tersebut namun kondisi ini mengubah struktur sel epitel bersilia tersebut menjadi sel skuamosa.30
Gambar 7. Proses pengenalan, pembersihan dan penggantian sel apoptosis secara normal (a) dan pada PPOK (b).
Dikutip dari (30)

KETIDAKIMBANGAN APOPTOSIS-PROLIFERASI
DAN PERAN 797 +79+7 DALAM
PATOGENESIS PPOK
     Asap rokok menyebabkan cedera sel sehingga terjadi apoptosis. Selain itu, asap rokok dan penuaan menyebabkan senescence selular dan menyebabkan proliferasi selular berhenti.29 Senescence juga menyebabkan proses perbaikan jaringan berhenti dan di saat yang di paru yang mengalami senescence berperan kerentanan terhadap infeksi. Ketika regenerasi jaringan terhambat, di saat yang sama jumlah sel alveolar semakin berkurang dan pembentukan lesi
merokok. Hipotesis ini juga menjelaskan mengapa pada manusia lanjut usia dijumpai banyak menderita penggantian sel-sel alveolar yang rusak seiring dengan proses penuaan.26
Gambar 9. Hipotesis senescence
Dikutip dari (26)

IMPLIKASI PENATALAKSANAAN PPOK

  Pemahaman lebih dalam mengenai mekanisme penuaan secara molekular menimbulkan pengembangan penatalaksanaan yang baru. Agen antioksidan dapat digunakan sebagai anti penuaan.
Antioksidan yang sudah ada seperti N-acetyl cysteine belum mampu mengurangi stress oksidatif yang terjadi di paru. Penelitian agen baru seperti analog glutation dan analog dismutase superoksida sedang dikembangkan. Sulforaphane dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dengan mengaktivasi Nrf2 (nuclear factor-E2–related factor-2). Molekul anti penuaan yang lebih poten seperti Sirtuins mampu membantu perbaikan DNA.13,31
    Strategi penatalaksaanaan yang menjanjikan di masa depan ialah penggunaan sel punca untuk regenerasi jaringan paru. Regenerasi jaringan dapat dilakukan dengan memberikan faktor pertumbuhan/ protease sehingga ketidakimbangan protease menampilkan ketidakimbangan apoptosis-proliferasi yang ditimbulkan senescence selular pada pasien PPOK.8
Gambar 8. Ketidakimbangan apoptosis-proliferasi yang ditimbulkan senescence selular pada pasien PPOK.
Dikutip dari (8)

Hipotesis peranan senescence dalam
    Asap rokok tidak hanya menyebabkan kematian sel alveolar secara terus menerus namun juga menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang memicu terjadinya senescence prematur. Di sisi lain usaha untuk tetap menjaga integritas struktur alveolar dilakukan dengan cara berproliferasi untuk menggantikan sel alveolar yang mengalami apoptosis. Namun kemampuan sel alveolar untuk berproliferasi terbatas karena pembelahan sel yang berulang menyebabkan senescence replikatif. Ketika sel alveolar telah sampai tahap senescence maka regenerasi alveolar pun berhenti dan sementara itu terjadi kerusakan sel alveolar secara terus menerus. Kerusakan sel alveolar secara terus menerus menyebabkan struktur alveolar menghilang serta luas permukaan paru menjadi berkurang dan pada memburuk setelah pasien sudah lama berhenti
J Respir Indo Vol. 31, No. 4, Oktober 2011 231
diferensiasi seperti all-trans-retinoic acid (ATRA) dan Fibroblast Growth Factor-2 (FGF-2). Aktivasi
sel progenitor endogen dapat dilakukan dengan memberikan hepatocyte growth factor (HGF), adrenomedullin (AM), granulocyte-colony-stimulating factor (G-CSF). Sedangkan regenerasi jaringan paru juga dapat dilakukan dengan memberikan dari sumber eksogen seperti sel punca mesenkim dan endothelial progenitor cells (EPC). Walaupun terapi tersebut menjanjikan namun diperlukan penelitian lebih mendalam untuk dapat diterapkan secara klinik.32-33

KESIMPULAN

  1. Penuaan merupakan interaksi antara peran genetik, lingkungan, dan faktor peluang intrinsik yang mengakibatkan akumulasi defek selular dan pada akhirnya menyebabkan organisme menjadi renta, cacat atau sakit.
  2. Proses penuaan paru pada pasien PPOK lebih cepat dibandingkan orang normal.
  3. Senescence selular dapat ditimbulkan karena batas pembelahan sel dilampaui (senescence      replikatif) dan juga karena diinduksi stres (senescence prematur).
  4. Pemendekan telomer menandakan bertambahnya usia biologis di tingkat selular.
  5. Proses pengenalan, pembersihan, dan penggantian sel yang mengalami apoptosis pada pasien PPOK mengalami gangguan.
  6. Ketidakimbangan apoptosis-proliferasi yang dipicu senescence menjelaskan peranan senescence  dalam patogenesis PPOK.


DAFTAR PUSTAKA


  1. Lopez AD, Shibuya K, Rao C, Mathers CD, Hansen AL, Held LS, et al. COPD: currentburden and future projections. Eur Respir J. 2006;27:397–412.
  2. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino DM, et al. International variation in the prevalence of COPD (The BOLD Study): a population-based prevalence study. Lancet. 2007;370:741–50.
  3. Mannino DM, Buist AS. Global burden of COPD: risk factors, prevalence, and future trends. Lancet. 2007;370:765–73.
  4. Tuder RM. Aging and cigarette smoke: fueling the
  5. MacNee W. Pathogenesis of COPD. Proc Am Thorac Soc. 2005;2:258-66.
  6. Sharafkhaneh A, Hanania NA, Kim V. Pathogenesis of emphysema: from the bench to the bedside. Proc Am Thorac Soc. 2008;5:475-7.
  7. Tuder RM, Petrache I, Elias JA, Voelkel NF, Henson PM. Apoptosis and emphysema: the missing link. Am J Respir Cell Mol Biol. 2003;28:551-4.
  8. Aoshiba K, Nagai A. Senescence hypothesis for the pathogenetic mechanism of COPD. Proc Am Thorac Soc. 2009;6:596–601.
  9. Kirkwood TBL. Understanding the odd science of aging. Cell. 2005;120:437–47.
  10. Tuder RM, Yoshida T, Arap W, Pasqualini R, Petrache I. Cellular and molecular mechanisms of alveolar destruction in emphysema. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:503–11.
  11. Janssens JP, Pache J, Nicod LP. Physiological changes in respiratory function associated with ageing. Eur Respir J. 1999;13:197-205.
  12. Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. Clin Interv Aging. 2006;1(3):253–60.
  13. Ito K, Barnes PJ. COPD as a disease of accelerated lung aging. Chest. 2009;135:173- 80.
  14. MacNee W. Accelerated lung aging: a novel pathogenic mechanism of COPD. Biochem Soc Trans. 2009;37:819–23.
  15. Fukuchi Y. The aging lung and COPD: similarity and difference. Proc Am Thorac Soc. 2009;6:570-2.
  16. Campisi J, Fagagna F. Cellular senescence: when bad things happen to good cells. Nat Rev.232 J Respir Indo Vol. 31, No. 4, Oktober 2011
  17. Morla M, Busquets X, Pons J, Sauleda J, Macnee W, Agusti AGN. Telomere shortening in smokers with and without COPD. Eur Respir J. 2006;27:525-8.
  18. Togo S, Holz O, Liu X, Sugiura H, Kamio K,in patients with COPD are altered by multiple mechanisms. Am J Respir Crit Care Med.2008;178:248-60.
  19. Nyunoya T, Monick MM, Klingelhutz A, Yarovisnky TO, Cagley JR, Hunninghake GW. Cigarette smoke induces cellular senescence. Am J Respir Cell Mol Biol. 2006;35:681-8.
  20. Henson PM, Vandivier RW, Douglas IS. Cell death, remodeling, and repair in COPD. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:713-7.
  21. Randell SH. Airway epithelial stem cells and the pathophysiology of COPD. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:718-25.
  22. Hackett TL, Knight DA, Sin DD. Potential role of stem cells in management of COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2010;5:81–8.
  23. Ohnishi S, Nagaya N. Tissue regeneration as next-generation therapy for COPD – potential applications. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2008;3(4):509–14. Mol Cell Biol. 2007;8:729–40.
  24. Norwood TH, Pendergrass WR. The cultured of cellular aging. Crit Rev Oral Biol M. 1992;3(4):353-70.
  25. Mathon NF, Lloyd AC. Cell senescence and cancer. Nat Rev Cancer. 2001;1:203-13.
  26. Collado M, Serrano M. Senescence in tumours: evidence from mice and humans. Nat Rev Cancer. 2010;10:51-7.
  27. Campisi J. Senescent cells, tumor suppression, and organismal aging: good citizens, bad neighbors. Cell. 2005;120:513–22.
  28. Lombard DB, Chua KF, Mostoslavsky R, Franco S, Gostissa M, Alt FW. DNA repair, genome stability and aging. Cell. 2005;120:497-512.
  29. Hoeijmakers JHJ. DNA damage, aging, and cancer. N Engl J Med. 2009;36(15):1475-85.
  30. Gilley D, Tanaka H, Herbert B-S. Telomere dysfunction in aging and cancer. Int J Biochem Cell Biol. 2005;37:1000–13.
  31. Savale L, Chaouat A, Bastuji-Garin S, Marcos E, Boyer L, Maitre B, et al. Shortened telomeres in circulating leukocytes of patients with COPD. Am J Respir Crit Care Med. 2009;179:566-71.
  32. Calado RT, Young NS. Telomere Diseases. N Engl J Med. 2009;361(24):2353-65.
  33. Tsuji T, Aoshiba K, Nagai A. Alveolar cell senescence in patients with pulmonary emphysema. Am J Respir Crit Care Med. 2006;174:886-93.

COPD : Hubungan Derajat Sesak Napas Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Menurut Kuesioner Modified Medical Research Council Scale dengan Derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik


Dodi Anwar, Yusrizal Chan, Masrul Basyar
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang -
Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang

Abstrak
Latar belakang: Pemeriksaan spirometri wajib dilakukan kepada setiap orang yang mengidap PPOK, namun kalangan praktisi kesehatan seringkali kesulitan mengakses spirometri. Kuesioner MMRC scale digunakan untuk menentukan derajat sesak napas.
Tujuan penelitian ini untuk menentukan hubungan antara derajat sesak napas berdasarkan kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK.
Metode: Dilakukan studi cross sectional terhadap 50 pasien PPOK. Derajat sesak napas ditentukan berdasarkan kuesioner MMRC scale dilanjutkan dengan tes fungsi paru.
Hasil: Sesak napas ringan berhubungan dengan PPOK derajat II, sesak napas sedang berhubungan dengan PPOK derajat III dan sesak napas berat berhubungan dengan PPOK derajat IV. Pasien PPOK derajat 0 mempunyai rata-rata VEP 74,7 ± 3,0%, pasien 1 PPOK derajat I mempunyai rata-rata VEP 62,9 ± 13,0%, pasien PPOK derajat II mempunyai rata-rata VEP 42,2 ± 5,0%, pasien 1 1
PPOK derajat III mempunyai rata-rata VEP 27,3 ± 4,0%. 1
Kesimpulan: Semakin tinggi derajat sesak napas berdasarkan kuesioner MMRC scale, makin tinggi derajat PPOK dan makin
rendah VEP . (J Respir Indo. 2012; 32:200-7) 1
Kata kunci: Kuesioner MMRC scale, sesak napas, derajat PPOK,VEP . 1
Correlation Between The Degree of Breathlessness According to Modified Medical
Research Council Scale (MMRC scale) with The Degree of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease
Abstract
Background: Although spirometry should be undertaken in all patients who may have COPD, in many areas practitioners lack
access to spirometry. MMRC scale questionnaire can be used to assess the breathlessness. The aim of this study was determine the association between the degree of breathlessness according to MMRC scale questionnaire and the degree of COPD. Methods: Cross sectional in 50 stable patiens with COPD. Patients rated dyspnea with MMRC scale questionnaire and then performed lung function test.
Results: Mild dyspnea correlate with stage II COPD, moderate dyspnea correlate with stage III COPD and severe dyspnea correlate with stage IV COPD. COPD patients with degree 0 have median FEV 74.7 ± 3.0%, COPD patients with degree 1 have median FEV 1 1 62.9 ± 13.0%, COPD patients with degree 2 have median FEV 42.2 ± 5.0%, COPD patients with degree 3 have median FEV 27.3 ± 1 1
4.0%.
Conclusion: The higher the degree of dyspnea according to MMRC scale questionnaire, the higher the stage of COPD and the lower the FEV . (J Respir Indo. 2012; 32:200-7) 1
Keywords: MMRC scale questionnaire, dyspnea, COPD stage, FEV . 1
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia. Meskipun biasanya terjadi pada perokok, PPOK bisa juga terjadi pada orang yang tidak merokok akibat pajanan polusi udara. Penyakit paru obstruktif kronik menjadi masalah kesehatan di berbagai negara di mana masyarakatnya mempunyai kebiasaan merokok. Diperkirakan prevalens PPOK akan semakin meningkat di waktu mendatang.1,2
Data badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2002 menunjukkan PPOK menempati urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Diperkirakan jumlah penderita PPOK di Cina tahun 2006 mencapai 38,1 juta 200 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012
PPOK ke rumah sakit.3
Penelitian untuk membuktikan hubungan antara derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK belum pernah dilakukan di Indonesia. Karena pentingnya untuk menentukan derajat penyakit penderita PPOK di berbagai tempat pelayanan kesehatan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kuesioner sesak napas MMRC scale dan hubungannya dengan derajat PPOK sesuai dengan karakteristik penderita PPOK di Indonesia.
METODE
Penelitian dilakukan secara cross sectional terhadap penderita PPOK yang berobat di poliklinik paru rumah sakit Dr. M. Djamil Padang. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Oktober 2011. Kriteria inklusi adalah penderita yang didiagnosis PPOK dan dalam keadaan stabil serta bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent. Peserta penelitian yang masuk dalam kriteria penerimaan mengisi kuesioner MMRC scale dipandu oleh peneliti.8 Setelah mendapatkan derajat sesak napas berdasarkan kuesioner MMRC scale, dilakukan pemeriksaan spirometri untuk mengetahui nilai VEP1
dan rasio VEP /KVP. Data yang diteliti disajikan dalam 1 bentuk tabel dan grafik kemudian diolah secara komputerisasi.
Hubungan antara derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK diuji dengan Chi Square dan hubungan antara derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dengan nilai VEP diuji dengan uji Anova. Uji statistik dianggap 1 bermakna bila p < 0,05.
HASIL
Penelitian dilakukan terhadap penderita PPOK stabil dengan jumlah peserta penelitian sebanyak 50 orang sesuai dengan perhitungan jumlah sampel.
Karakteristik umum semua peserta penelitian ditampilkan pada tabel 1.
Semua peserta penelitian adalah laki-laki dengan usia rata-rata 62,04 ± 9,65 tahun. Usia termuda penderita, Jepang sebanyak 5 juta penderita dan Vietnam sebesar 2 juta penderita. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta penderita PPOK.
Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok karena 90% penderita PPOK adalah
perokok atau bekas perokok.3 Pemeriksaan spirometri perlu dilakukan pada setiap penderita PPOK untuk memastikan diagnosis, menentukan derajat penyakit dan memantau progresivitasnya.
Spirometri penting untuk mengevaluasi perjalanan penyakit tetapi di beberapa tempat peralatan spirometri tidak tersedia sehingga dibutuhkan cara lain seperti melihat keluhan sesak napas, untuk menilai progresivitas dan perjalanan penyakit PPOK.4,5
Sesak napas merupakan masalah utama pada PPOK dan sebagai alasan penderita mencari pengobatan.
Sesak napas bersifat persisten serta progresif dan juga sebagai penyebab ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas. Gejala sesak napas harus dievaluasi secara rutin pada setiap penderita PPOK.
Sesak napas biasanya dinilai dengan menghitung fungsi paru dengan cara spirometri, namun untuk menilai sesak napas pada penderita PPOK dapat juga digunakan kuesioner Modified Medical Research Council scale (MMRC scale). Penelitian di Libanon menyatakan bahwa derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale secara bermakna berhubungan dengan nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP ).5,6,7 1
Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan, masih jauh dari fasilitas pelayanan untuk PPOK. Di samping itu kompetensi sumber daya manusia dan peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK yaitu spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja dan seringkali jauh dari jangkauan puskesmas. Puskesmas sebagai garis terdepan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih mempunyai keterbatasan baik dalam penyediaan sarana diagnosis maupun obat-obatan. Mengikutsertakan dokter umum memiliki dampak positif pada kepatuhan penderita PPOK. Intervensi layanan terpadu terhadap penderita, koordinasi antar tingkat pelayanan, dan meningkatkan aksesibilitas dapat mengurangi kunjungan penderita
J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 201
41 tahun dan usia tertua 80 tahun. Ditinjau dari tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SMA sebanyak 19
orang (38%). Semua peserta penelitian mengeluhkan sesak napas yang meningkat dengan aktivitas dengan lama keluhan rata-rata telah dialami sejak 4,46 ± 3,46 tahun. Berdasarkan kebiasaan merokok yang dihitung
dengan Indeks Brinkman (IB) yang terbanyak adalah IB berat sebanyak 24 orang (48%). Penderita PPOK yang paling banyak ditemukan adalah derajat III (PPOK berat) sebanyak 25 orang (50%). Pada penelitian ini tidak didapatkan penderita PPOK derajat I (PPOK ringan).
Hasil pemeriksaan fungsi paru yang dilakukan pada semua peserta penelitian mendapatkan nilai VEP1 tertinggi sebesar 2,034 liter dan nilai VEP terendah 1 0,462 liter dengan nilai rata-rata 1,030 ± 0,407 liter. Nilai VEP prediksi tertinggi sebesar 78% dan nilai VEP 1 1 prediksi terendah sebesar 22% dengan VEP rata-rata 1 43,1 ± 16,1% prediksi. Nilai KVP tertinggi sebesar 4,894 liter dan nilai KVP terendah sebesar 0,969 liter dengan KVP rata-rata 2,163 ± 0,720 liter. Nilai KVP prediksi tertinggi sebesar 99% dan nilai KVP prediksi terendah
Laki-laki
Usia (tahun)
Tingkat pendidikan
SD
SMP
SMA
Akademi
Sarjana
Lama keluhan (tahun)
Status merokok
Ringan
Sedang
Berat
Pemeriksaan fungsi paru
VEP (L) 1
VEP (% prediksi) 1
KVP (L)
KVP (% prediksi)
VEP / KVP (%) 1
Derajat PPOK
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
Derajat sesak napas
Derajat 0
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3
Derajat 4
50
62,94 ± 9,65
5 (10)
13 (26)
19 (38)
10 (20)
3 (6)
4,46 ± 3,46
3 (6)
23 (46)
24 (48)
1,030 ± 0,407
43,1 ± 16,1
2,163 ± 0,720
65,0 ± 17,7
48,1 ± 10,4
0 (0)
15 (30)
25 (50)
10 (20)
3 (6)
9 (18)
22 (44)
16 (32)
0
Karakteristik Nilai
Tabel 1. Karakteristik peserta penelitian sebesar 28% dengan KVP rata-rata 65,0 ± 17,7%
prediksi. Nilai rasio VEP /KVP tertinggi sebesar 69% 1
dan nilai rasio VEP /KVP terendah sebesar 27% dengan 1
rasio VEP /KVP rata-rata 48,1 ± 10,4%. 1
Ditinjau dari derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale, dari semua peserta penelitian didapatkan yang terbanyak adalah sesak napas derajat 2 sebanyak 22 orang (44%). Pada penelitian ini tidak didapatkan penderita dengan sesak napas derajat 4. Semua peserta penelitian mengeluhkan sesak napas dalam derajat yang berbeda. Jumlah penderita PPOK berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale ditampilkan pada gambar 1.
Pada sesak napas derajat 0 didapatkan penderita
PPOK derajat II sebanyak 3 orang (6%) tetapi tidak didapatkan penderita PPOK derajat III dan derajat IV. Pada sesak napas derajat 1 didapatkan penderita PPOK derajat II sebanyak 8 orang (16%) dan penderita PPOK derajat III sebanyak 1 orang (2%) serta tidak didapatkan penderita PPOK derajat IV. Pada sesak napas derajat 2 didapatkan penderita PPOK derajat II sebanyak 4 orang (8%) dan penderita PPOK derajat III sebanyak 18 orang (36%) serta tidak didapatkan juga penderita PPOK derajat IV. Sedangkan pada sesak napas derajat 3 didapatkan penderita PPOK derajat III sebanyak 6 orang (12%) dan penderita PPOK derajat IV sebanyak 10 orang (20%) serta tidak didapatkan penderita PPOK derajat II.
Tabel 2 menunjukkan hasil pemeriksaan fungsi paru terhadap semua peserta penelitian berdasarkan
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
MMRC 0 MMRC 1 MMRC 2 MMRC 3
PPOK II
PPOK III
PPOK IV
Gambar 1. Jumlah penderita PPOK berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale 202 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012
derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale.
    Pada penderita PPOK dengan sesak napas derajat 0 didapatkan VEP rata-rata sebesar 1,305 ± 0,718 liter 1 atau 74,6 ± 3,0% dan KVP rata-rata sebesar 2,033 ± 0,927 liter atau 80,0 ± 3,4%. Penderita dengan sesak napas derajat 1 didapatkan VEP rata-rata sebesar 1 1,584 ± 0,381 liter atau 62,8 ± 13,0% dan KVP rata-rata sebesar 2,660 ± 0,650 liter atau 77,5 ± 13,9%. Penderita dengan sesak napas derajat 2 didapatkan VEP rata- 1 rata sebesar 1,019 ± 0,211 liter atau 42,0 ± 5,9% dan KVP rata-rata sebesar 2,280 ± 0,758 liter atau 68,1 ± 17,3%. Pada penderita dengan sesak napas derajat 3 didapatkan VEP rata-rata sebesar 0,699 ± 0,125 liter 1 atau 27,2 ± 3,8% dan KVP rata-rata sebesar 1,722 ± 0,407 liter atau 49,8 ± 12,2%.
     Hasil pemeriksaan fungsi paru terhadap semua peserta penelitian berdasarkan derajat PPOK dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan derajat penyakit, pada penderita PPOK derajat II didapatkan nilai VEP rata- rata sebesar 1,517 ± 0,383 liter atau 64,2 ± 9,7% dan nilai KVP rata-rata sebesar 2,709 ± 0,907 liter atau 81,2 ± 15,0%. Pada penderita PPOK derajat III didapatkan nilai VEP rata-rata sebesar 0,897 ± 0,140 liter atau 37,5 1 ± 5,3% dan nilai KVP rata-rata sebesar 2,071 ± 0,452 liter atau 63,1 ± 12,3%. Sedangkan pada penderita PPOK derajat IV didapatkan nilai VEP rata-rata sebesar 0,657 ± 0,140 liter atau 25,0 ± 3,0% dan nilai KVP rata-rata sebesar 1,549 ± 0,288 liter atau 43,8 ± 9,0%.
Hubungan antara derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK dapat dilihat pada tabel 4. Sesak napas ringan (sesak napas derajat 0 dan 1) paling banyak didapatkan pada penderita PPOK derajat II sebanyak 11 orang (22%). Sesak napas sedang (sesak napas derajat 2) paling banyak didapatkan pada penderita PPOK derajat III sebanyak 18 orang (36%). Sedangkan sesak napas
VEP (L) 1
VEP (% prediksi) 1
KVP (L)
KVP (% prediksi)
MMRC 0
1,305±0,718
74,6±3,0
2,033±0,927
80,0±3,4
1,584±0,381
62,8±13,0
2,660±0,650
77,5±13,9
1,019±0,211
42,0±5,9
2,280±0,758
68,1±17,3
0,699±0,125
27,2±3,8
1,722±0,407
49,8±12,2
MMRC 1 MMRC 2 MMRC 3
Tabel 2. Hasil pemeriksaan fungsi paru berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale
berat (sesak napas derajat 3) paling banyak didapatkan
pada penderita PPOK derajat IV sebanyak 10 orang
(20%). Setelah diuji secara statistik (Chi Square) hasil
yang didapatkan tersebut dianggap bermakna dengan p
0,005.
Semua peserta penelitian mempunyai kebiasaan merokok (tabel 5). Penderita PPOK dengan IB ringan didapatkan pada derajat II, III dan IV. Penderita PPOK dengan IB sedang paling banyak didapatkan pada derajat III sebanyak 13 orang (26%). Sedangkan penderita PPOK dengan IB berat paling banyak didapatkan pada derajat III sebanyak 11 orang (22%).
Bila diuji secara statistik (Chi Square) hasil yang didapatkan tersebut tidak bermakna dengan p 0,761.
Semua peserta penelitian mempunyai keluhan utama sesak napas yang meningkat dengan aktivitas (tabel 6). Penderita PPOK dengan IB ringan didapatkan pada semua derajat sesak napas. Penderita PPOK dengan IB sedang paling banyak didapatkan pada sesak napas sedang sebanyak 11 orang (22%).
Sedangkan penderita PPOK dengan IB berat paling banyak didapatkan pada sesak napas sedang sebanyak 10 orang (20%). Bila diuji secara statistik (Chi Square) hasil yang didapatkan tersebut tidak bermakna dengan p 0,984.
Hubungan antara derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale dengan nilai VEP diketahui dengan uji Anova. Distribusi nilai VEP 1 1 rata-rata semua peserta penelitian berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dapat dilihat pada tabel 7. Penderita PPOK dengan sesak
VEP (L) 1
VEP (% prediksi) 1
KVP (L)
KVP (% prediksi)
PPOK
derajat II
1,517±0,383
62,2±9,7
2,709±0,907
81,2±15,0
PPOK
derajat III
PPOK
derajat IV
1,897±0,140
37,5±5,3
2,071±0,452
63,1±12,3
1,657±0,140
25,0±3,0
1,549±0,288
43,8±9,0
Tabel 3. Hasil pemeriksaan fungsi paru peserta penelitian berdasarkan derajat PPOK J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 203
Sesak napas ringan
Sesak napas sedang
Sesak napas berat
Jumlah
PPOK I
0000
11
40
15
1
18
6
25
00
10
10
PPOK II PPOK III PPOK IV
12
22
16
50
Jumlah
IB ringan
IB sedang
IB berat
PPOK I
000
159
1
13
11
154
PPOK II PPOK III PPOK IV
3
23
24
Jumlah
Tabel 4. Distribusi peserta penelitian berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dan derajat PPOK napas derajat 0 mempunyai VEP sebesar 74,7 ± 3,0%. 1
Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 1 mempunyai VEP sebesar 62,9 ± 13,0%. Penderita 1
PPOK dengan sesak napas derajat 2 mempunyai VEP1 sebesar 42,2 ± 5,0%. Sedangkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 3 mempunyai VEP1 sebesar 27,3 ± 4,0%. Setelah dilakukan uji statistik (uji Anova) hasil yang didapatkan tersebut dianggap bermakna dengan p 0,005. Terdapat perbedaan VEP1 rata-rata pada keempat derajat sesak napas tersebut.

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan terhadap penderita PPOK dengan usia rata-rata 62,04 ± 9,65 tahun. Hampir sama dengan penelitian Safwat dkk.9 tahun 2009 di Mesir terhadap 30 penderita PPOK dengan usia rata-rata 61,5
Tabel 5. Distribusi peserta penelitian berdasarkan status merokok dan derajat PPOK
IB ringan
IB sedang
IB berat
Jumlah
Jumlah
156
12
1
11
10
22
178
16
3
23
24
50
Sesak
napas
berat
Sesak
napas
sedang
Sesak
napas
ringan
Tabel 6. Distribusi peserta penelitian berdasarkan status merokok dan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale
tahun. Penelitian Mahler dkk.7 tahun 2009 di Libanon terhadap 101 penderita PPOK dengan usia rata-rata 66 ± 9 tahun. Penelitian Hajiro dkk.10 tahun 1998 di Jepang terhadap 161 penderita PPOK dengan usia rata-rata 69 ± 7 tahun. Penelitian Camargo dkk.11 tahun 2010 di Brazilia terhadap 50 penderita PPOK dengan usia rata- rata 69 ± 8 tahun. Penelitian Wegner dkk.12 tahun 1994 di
Jerman terhadap 62 penderita PPOK dengan usia rata- rata 69 ± 7 tahun. Penelitian Wells dkk.8 tahun 1988 di AS terhadap 91 penderita PPOK dengan usia rata-rata 57 ± 15 tahun. Sedangkan penelitian Setiyanto dkk.13 tahun 2008 di RS Persahabatan terhadap 120 penderita PPOK mendapatkan usia rata-rata 65,87 ± 9,3 tahun.
Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penderita PPOK umumnya berusia lebih dari 40 tahun.14
Semua peserta penelitian adalah laki-laki. Sama dengan penelitian oleh Safwat dkk.9 dimana semua
peserta penelitiannya adalah laki-laki. Hampir sama dengan penelitian Hajiro dkk.10 dimana 99,4% peserta penelitiannya adalah laki-laki. Sedangkan penelitian Setiyanto dkk.13 mendapatkan laki-laki sebanyak 96,7%. Hal ini juga sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penderita PPOK kebanyakan laki- laki.2
Penelitian mendapatkan semua penderita mempunyai kebiasaan merokok dengan yang terbanyak adalah IB berat sebanyak 48%. Sama dengan penelitian Setiyanto dkk.13 yang juga mendapatkan
penderita dengan IB berat yang terbanyak yaitu sebesar 40%. Kebiasaan merokok merupakan penyebab utama terpenting PPOK, jauh lebih penting dari faktor
0123
IK 95% (%)
74,7±3,0
62,9±13,0
42,2±5,0
27,3±4,0
67,1 - 82,3
52,9 - 72,9
39,7 - 44,8
25,2 - 29,3
Mean±SD (%)
MMRC
scale
VEP1
Tabel 7. Distribusi nilai VEP rata-rata berdasarkan derajat 1 sesak napas menurut kuesioner MMRC scale
204 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalens
yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dan
lamanya merokok.3
     Hubungan antara status merokok dengan derajat PPOK setelah diuji secara statistik (Chi Square)
ternyata tidak bermakna (p 0,761). Meskipun rokok merupakan penyebab utama PPOK dan risiko PPOK tergantung pada jumlah batang rokok yang dihisap tetapi tidak semua perokok akan menderita PPOK. Terjadinya obstruksi di saluran napas disebabkan oleh berbagai faktor etiologi selain rokok seperti misalnya faktor genetik yang juga berperan dalam menimbulkan kelainan tersebut.1,3
   Hubungan antara status merokok dengan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale setelah diuji secara statistik (Chi Square) juga tidak bermakna (p 0,984). Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya bahwa rokok merupakan penyebab utama PPOK tetapi tidak semua perokok akan menderita PPOK sehingga tidak semua perokok akan mengalami keluhan sesak napas.1,3
    Sesak napas merupakan keluhan utama semua penderita PPOK. Semua peserta penelitian telah mengalami sesak napas selama 4,46 ± 3,46 tahun. Hampir sama dengan penelitian Johansson dkk.15 tahun 2008 di Swedia yang mendapatkan lamanya keluhan penderita PPOK sejak 4,6 ± 3,6 tahun. Penelitian Casaburi dkk.16 tahun 2002 di Inggris mendapatkan lamanya keluhan sejak 8,6 ± 7,4 tahun. Sedangkan penelitian Verkindre dkk.17 tahun 2005 di Perancis mendapatkan lamanya keluhan sejak 9,7 ± 6,9 tahun. Sesak napas pertama kali dirasakan saat melakukan aktivitas yang agak berat seperti mendaki tangga atau berjalan cepat. Ketika VEP semakin menurun sesak napas dirasakan saat aktivitas ringan atau waktu istirahat.5
      Ditinjau dari derajat penyakit, penderita PPOK yang paling banyak ditemukan adalah derajat III ( PPOK berat) sebanyak 25 orang (50%) tetapi penelitian ini tidak mendapatkan penderita PPOK derajat I (PPOK ringan). Sama dengan penelitian Safwat dkk.9 yang paling banyak mendapatkan PPOK derajat III sebanyak 60% dan tidak mendapatkan derajat I. Penelitian Mahler dkk.7 mendapatkan penderita PPOK derajat II yang terbanyak yaitu sebesar 55,4% dan juga tidak mendapatkan penderita PPOK derajat I. Sedangkan penelitian Setiyanto dkk.13 mendapatkan PPOK derajat II yang terbanyak yaitu sebesar 61,7% tetapi PPOK derajat I hanya 0,8%. Menurut kepustakaan penderita PPOK mulai merasakan sesak napas setelah memasuki derajat II sehingga mereka akan memeriksakan kesehatan ke rumah sakit. Penyakit paru obstruktif kronik derajat I adalah yang paling ringan dan penderita tersebut belum menyadari penurunan fungsi paru sehingga jarang yang berobat ke rumah sakit.3
     Berdasarkan pemeriksaan fungsi paru didapatkan VEP rata-rata 43,1 ± 16,1% prediksi. Hampir sama 1 dengan penelitian Hajiro dkk.10 yang mendapatkan VEP1 rata-rata 47,9 ± 17,4%. Penelitian Safwat dkk.9 mendapatkan VEP rata-rata 49,9 ± 15%. Tetapi penelitian Mahler dkk.7 mendapatkan hasil yang lebih tinggi yaitu VEP rata-rata 53 ± 16%. Penelitian Camargo dkk.11mendapatkan VEP rata-rata 52 ± 12%. 1
      Dari semua peserta penelitian didapatkan sesak napas derajat 2 yang terbanyak yaitu sebesar 44% dan tidak didapatkan sesak napas derajat 4. Hasil ini sama dengan penelitian Camargo dkk.11 yang juga paling banyak mendapatkan sesak napas derajat 2 sebesar 46%. Sedangkan penelitian Mahler dkk.7 paling banyak mendapatkan sesak napas derajat 1 yaitu sebesar 37,6%. Penyebab tidak ditemukannya penderita PPOK dengan sesak napas derajat 4 pada penelitian ini adalah sangat beratnya keluhan pada penderita dengan derajat 4 tersebut. Derajat 4 dinyatakan sebagai ketidakmampuan untuk meninggalkan rumah. Penderita bahkan merasa sesak napas pada aktivitas ringan seperti berpakaian. Beratnya keluhan tersebut menyebabkan penderita tidak datang berobat ke rumah sakit.8 Pada penelitian ini didapatkan sesak napas ringan (derajat 0 dan 1) identik dengan PPOK derajat II. Sesak napas sedang (derajat 2) identik dengan PPOK derajat III. Sedangkan sesak napas berat (derajat 3 dan 4) identik dengan PPOK derajat IV. Semakin tinggi derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale, semakin tinggi pula derajat PPOK. Setelah diuji secara statistik (Chi Square) hal tersebut bermakna. Derajat penyakit sangat penting diketahui dalam penatalaksanaan PPOK. Pengobatan yang diberikan pada seorang penderita PPOK disesuaikan dengan derajat penyakitnya.
       Pada penderita PPOK derajat I hanya diberikan bronkodilator kerja singkat saat dibutuhkan. Pada PPOK derajat II diberikan bronkodilator kerja lama sebagai terapi pemeliharaan disamping bronkodilator kerja singkat saat dibutuhkan. Pada PPOK derajat III, selain diberikan bronkodilator kerja lama sebagai terapi pemeliharaan juga diberikan steroid inhalasi jika memberikan perbaikan klinis. Sedangkan pada PPOK derajat IV, selain diberikan bronkodilator kerja lama sebagai terapi pemeliharaan serta steroid inhalasi jika memberikan perbaikan klinis, juga diberikan terapi oksigen jangka panjang jika gagal napas kronik.1,3 Penelitian juga mendapatkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 0 mempunyai VEP rata- rata sebesar 74,7 ± 3,0%. Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 1 mempunyai VEP rata-rata 1 sebesar 62,9 ± 13,0%. Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 2 mempunyai VEP rata-rata sebesar 42,2 ± 5,0%. Sedangkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 3 mempunyai VEP rata-rata sebesar 27,3 ± 4,0%. Data yang didapatkan menunjukkan semakin tinggi derajat sesak napas penderita menurut kuesioner MMRC scale, semakin rendah nilai VEP . Uji statistik menyatakan terdapat 1 perbedaan nilai VEP rata-rata yang bermakna pada setiap derajat sesak napas.
   Penelitian Mahler dkk.7 mendapatkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 1,7 ± 0,9 menurut kuesioner MMRC scale mempunyai VEP sebesar 62 ± 18%. Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 2,1 ± 0,9 mempunyai VEP sebesar 40 ± 5%. Sedangkan 1penderita PPOK dengan sesak napas derajat 3,0 ± 0,8 mempunyai VEP sebesar 25 ± 2%.7 1
     Menurut kepustakaan penderita PPOK mengalami hambatan aliran udara yang progresif sehingga mereka tidak mampu melakukan ekspirasi secara optimal. Kelainan ini menyebabkan peningkatan volume paru di akhir ekspirasi (hiperinflasi) dengan konsekuensi penurunan kapasitas inspirasi. Hiperinflasi saat istirahat dan saat melakukan aktivitas berkontribusi terhadap terjadinya sesak napas yang selalu dikeluhkan oleh penderita. Adanya hambatan aliran udara dibuktikan dengan pemeriksaan fungsi paru yang ditandai dengan penurunan nilai VEP dan penurunan 1 rasio VEP /KVP.5,18 1
      Pada penelitian ini tidak didapatkan penderita PPOK derajat I dan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 4 menurut kuesioner MMRC scale. Hal tersebut menjadi kelemahan penelitian karena tidak dapat dilihat bagaimana hubungan antara PPOK derajat I dengan derajat sesak napas. Demikian juga halnya dengan sesak napas derajat 4, peneliti juga tidak bisa melihat hubungannya dengan derajat PPOK. Kelemahan kedua dari penelitian ini adalah sesak napas ringan juga ditemukan pada sebagian kecil penderita PPOK derajat III. Sesak napas sedang ditemukan pada sebagian kecil penderita PPOK derajat II. Demikian juga halnya dengan sesak napas berat yang juga ditemukan pula pada sebagian kecil penderita PPOK derajat III.

KESIMPULAN

  1. Semakin tinggi derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale, semakin tinggi pula derajat PPOK.
  2. Semakin tinggi derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale, semakin rendah nilai VEP . 1


DAFTAR PUSTAKA


  1. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Global strategy for the diagnosis,   management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Updated 2010. Barcelona; GOLD Inc;2010.
  2. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease : Epidemiology, pathofisiology and pathogenesis. Fishman`s pulmonary disease and disorders. 4th eds. New York: The McGraw Hill Companies; 2008. p. 707-28. 206 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012
  3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: PDPI; 2011.
  4. Celli BR. Update on the management of COPD. Chest. 2008; 133:1451-62.
  5. Mac Nee W. Chronic obstructive pulmonary disease: Epidemiology, physiologi and clinical evaluation. Clinical respiratory medicine. 3rd eds. London: Mosby Elsevier; 2008.p. 491-515.
  6. Alsagaff H, Mukty A. Penyakit obstruksi saluran napas. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:Airlangga University Press; 2008.p.231-3.
  7. Mahler DA, Ward J, Waterman LA, Mc Cusker C, Wallack RZ, Baird JC. Patient reported dyspnea in COPD reliability and association with stage of disease. Chest. 2009; 136 : 1473-9.
  8. Wells CK, Mahler DA. Evaluation of clinical method for rating dyspnea. Chest. 1988; 93 : 580-6.
  9. Satwat T, Wagih K, Fathy D. Correlation between forced expiratory volume in first second (FEV ) and 1 diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) in chronic obstructive pulmonary disease. Egypt J Bronchology. 2009; 3(2):119-22.
  10. Hajiro T, Nishimura K, Tsukino M, Ikeda A, Kajima H, Izumi T. Analysis of clinical methods used to evaluate dyspnea in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 1998; 158:1185-9.
  11. Camargo LA, Pereira CA. Dyspnea in COPD: Beyond the modified medical research council scale. J Bras Pneumol. 2010; 36 (5): 571-8.
  12. Wegner RE, Jorres RA, Kirsten DK, Magnussen A. Factor analysis of exercise capacity, dyspnea ratings and lung function in patients with severe chronic obstructive pulmonary disease. Eur RespirJ. 1994; 7: 725-9.
  13. Setiyanto H, Yunus F, Soepandi PZ. Pola dan sensitivitas kuman PPOK eksaserbasi akut yang mendapat pengobatan echinacea purpurea dan antibiotik siprofloksasin. J Respir Indo. 2008; 28 (3):107-23.
  14. O`Donnell DE, Hernandez P, Kaplan A. Canadian thoracic society recommendation for management of chronic obstructive pulmonary disease – 2008 update – highlight for primary care. Can Respir J. 2008; 15: 1-8.
  15. Johansson G, Lindberg A, Romberg K. Bronchodilator efficacy of tiotropium in patients withmild to moerate COPD. Prim Care Resp J. 2008; 17(3):169-75.
  16. Casaburi R, Mahler DA, Jones PE. A long term evaluation of once daily inhaled tiotropium in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J. 2002; 19 : 217-24.
  17. Verkindre C, Bart F, Aguilaniu B. The effect of tiotropium on hyperinflation and exercise capacity in chronic obstructive pulmonary disease. Respiration. 2006; 73: 420-7.
  18. O`Donnell DE, Banzett RB, Kohlman VC. Pathophysiology of dyspnea in chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2007; 4: 145-68. J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 207

COPD : Fenotip Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Mufidatun Hasanah, Susanthy Djajalaksana
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

      Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan sindrom klinis dengan banyak komponen paru dan ekstra paru serta heterogenitas signifikan. Istilah fenotip pada PPOK didefinisikan sebagai “satu atau kombinasi beberapa penyakit yang menggambarkan perbedaan antara individu dengan PPOK terkait dengan klinis. Diantara banyak fenotip yang telah diidentifikasi, ada 3 fenotip pokok yang berhubungan dengan perbedaan klinis, prognosis dan perbedaan respons terapi terhadap terapi yang saat ini tersedia. fenotip-fenotip tersebut adalah fenotip campuran PPOK-asma, fenotip eksaserbator, dan fenotip emfisemahiperinflasi.
        Eksaserbator ditandai dengan lebih dari dua eksaserbasi setahun dan selain bronkodilator jangka lama juga memerlukan obat antiinflamasi. Fenotip campuran PPOK-asma menunjukkan gejala peningkatan variabilitas jalan napas dan obstruksi yang tidak sepenuhnya reversibel. fenotip campuran ini memberi respons yang baik terhadap terapi kortikosteroid inhalasi selain bronkodilator. Fenotip emfisema-hiperinflasi menunjukkan respons yang buruk terhadap obat antiinflamasi, bronkodilator jangka lama bersama dengan rehabilitasi merupakan pilihan terapi. Usaha mengelompokkan pasien dengan gejala dan manifestasi klinis yang serupa ke dalam fenotip PPOK masih merupakan usaha yang baru dimulai dibandingkan dengan bidang lainnya. Diperlukan usaha lebih lanjut untuk memunculkan konsensus internasional PPOK berbasis fenotip.
PPOK, fenotip, gejala klinis, pengobatan.

Phenotypes of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
       COPD is a complex syndrome with numerous pulmonary and extrapulmonary components with significant heterogeneity. The term phenotype in the field of COPD is defined as “a single or combination of disease attributes that describe differences between individuals with COPD as they relate to clinically meaningful outcomes”. Among all phenotypes identified, there are three that are associated with prognosis and especially with a different response to currently available therapies. The phenotypes are mixed overlap COPD-asthma, the exacerbator, and the emphysema-hyperinflation. The exacerbator is characterized by the presence of, at least, two exacerbations in previous year, and on top of long-acting bronchodilators, may require anti-inflammatory drugs. The mixed overlap phenotype has symptoms related to the increased variability of airflow and incompletely reversible airflow obstruction. Due to the underlying inflammatory profile, this type have a good response to inhaled corticosteroids in addition to bronchodilators. The emphysema phenotype has a poor therapeutic response to the existing anti-inflammatory drugs with long-acting bronchodilators together with rehabilitation are the treatments of choice. Phenotyping in COPD is a relatively early endeavor. More efforts should be made to bring out international consensus statement on phenotypes-based management of COPD. 
COPD, phenotypes, clinical presentations, treatment

Abstrak
(J Respir Indo. 2013; 33:271-9)
Kata kunci :
Abstract
(J Respir Indo. 2013; 33:271-9)

PENDAHULUAN
    Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) saat ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Merokok dan paparan gas beracun menyebabkan inflamasi dan kerusakan jalan napas serta parenkim paru sehingga berakibat pada keterbatasan aliran jalan napas.1
Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita PPOK sedang sampai berat. Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, menyumbang 5% dari seluruh penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan mortalitas PPOK tersebut didapatkan sebagian besar dari negara dengan penghasilan tinggi.
    Pada tahun 2002, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5, diperkirakan akan meningkat menjadi ke-3 pada tahun 2030 dengan total peningkatan kematian 30% dalam 10 tahun.2 
Definisi masa lalu PPOK memberikan pandangan yang pesimis bahwa proses penyakit tidak dapat diubah dan hanya sedikit terapi yang dapat ditawarkan. Namun pandangan yang lebih optimis telah datang untuk diterima secara luas.3
    Klasifikasi PPOK biasanya didasarkan pada tingkat keparahan obstruksi aliran udara, sebagaimana dinilai menggunakan volume ekspirasi paksa pada detik pertama (VEP ). Dalam beberapa tahun terakhir, telah berkembang pendapat bahwa PPOK adalah penyakit kompleks dengan beberapa manifestasi klinis dan bahwa subjek PPOK tidak dapat dijelaskan dengan hanya menggunakan tingkat keparahan keterbatasan aliran udara. Dengan demikian, banyak prediktor independen lain telah diidentifikasi, termasuk memburuknya dispnea, frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, malnutrisi, depresi dan penurunan health-related quality of life (HRQoL). Selain itu, komorbiditas (misalnya penyakit jantung dan kanker) merupakan penyebab utama kematian dan rawat inap pada pasien PPOK.4
      Tujuan dari klasifikasi fenotip adalah untuk mengidentifikasi kelompok pasien dengan prognosis yang unik atau karakteristik terapeutik, tetapi variasi yang signifikan dan kerancuan masih mengikuti penggunaan istilah ''fenotip'' pada PPOK. Fenotip klasik mengacu pada setiap karakteristik yang dapat diamati dari suatu organisme, dan hingga saat ini, beberapa karakteristik penyakit telah disebut sebagai fenotip PPOK.5

Fenotip PPOK
    Definisi fenotip PPOK secara khusus adalah “satu atau kombinasi beberapa penyakit yang menggambarkan perbedaan antara individu dengan PPOK karena terkait dengan hasil klinis yang bermakna (seperti gejala, eksaserbasi, respons terhadap pengobatan, kecepatan perkembangan dari penyakit, atau kematian)”. Dengan kata lain fenotip PPOK harus mempunyai nilai prediktif yang nyata. Oleh karena itu, fenotip harus mampu mengklasifikasikan pasien menjadi subkelompok dengan nilai prognostik yang memungkinkan untuk menentukan terapi yang terbaik untuk mencapai hasil klinis yang lebih baik.6
       Identifikasi fenotip PPOK secara klinis sejak awal telah digambarkan pada awal tahun 1950-an, ketika Dornhorst mengusulkan perbedaan antara pink puffers dan blue bloaters. Deskripsi ini berdasarkan penilaian klinis subjektif terhadap pasien PPOK. Secara klasik blue bloater digambarkan sebagai pasien dengan usia lebih muda dengan bronkitis kronik, yang sering disertai dengan penyakit jantung kongestif. Pink puffer digambarkan sebagai pasien usia lebih tua dengan pengurusan otot yang terus-menerus, sesak dan gambaran emfisema yang jelas.7
     Penyakit paru obstruktif kronik kemudian semakin diakui sebagai penyakit yang heterogen. Subtipe klasik pink puffer dan blue bloater tidak mampu sepenuhnya menggambarkan heterogenitas ini. Berbagai observasi klinis telah dilakukan selama lebih 40 tahun terhadap sejumlah besar pasien PPOK, dengan menitikberatkan pada penyakit tahap lanjut, didasarkan juga pada studi ekstensif terhadap hubungan struktur-fungsi secara keseluruhan. Analisis kelompok yang berusaha mengatur berbagai informasi sehingga variabel kelompok-kelompok yang heterogen dapat diklasifikasikan menjadi kelompok yang relatif homogen, telah diusulkan untuk menguji heterogenitas fenotip pada penyakit saluran napas.8
     Dalam beberapa tahun terakhir, telah berkembang pendapat bahwa PPOK adalah penyakit kompleks dengan beberapa manifestasi klinis dan bahwa subjek PPOK tidak dapat dijelaskan dengan hanya menggunakan tingkat keparahan keterbatasan aliran udara saja. Banyak penelitian juga telah menunjukkan bahwa tidak semua pasien memberikan respons yang sama terhadap semua obat. Dengan demikian, banyak prediktor independen lain telah diidentifikasi, termasuk memburuknya dispnea, frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, malnutrisi, depresi dan penurunan health-related quality 8 of life (HRQoL). Terdapatnya kesadaran akan perlunya mengidentifikasi berbagai fenotip klinis PPOK maka fenotip PPOK menjadi fokus pada banyak tulisan dan penelitian akhir-akhir ini.6

Fenotip potensial PPOK
     Penelitian PAC–COPD (phenotypic characterization and course of chronic obstructive pulmonary) merupakan suatu penelitian multisenter yang bertujuan untuk mengetahui heterogenitas fenotip PPOK dan sejauh mana heterogenitas ini berkaitan dengan perjalanan klinis. Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 342 pasien PPOK yang rawat inap pertama kali dan diikuti selama empat tahun. Dari penelitian ini didapatkan tiga fenotip yang diidentifikasi dan divalidasi secara prospektif, fenotip tersebut adalah PPOK respiratorik berat, PPOK respiratorik sedang, dan PPOK sistemik.9
     Penelitian oleh Burgel dkk.8 yang menganalisis sebanyak 322 subjek menggunakan analisis kluster principal component analysis (PCA) menghasilkan empat fenotip yang berbeda dari klasifikasi GOLD. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang setara (VEP ) dari fenotip yang berbeda, telah dibedakan 1 dalam gejala, komorbid, dan perkiraan mortalitas (tabel1).
        Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dan dari definisi PPOK sendiri, fenotip klinis yang ditetapkan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu mempunyai nilai prediktif, dan dapat secara prospektif divalidasi untuk tiap outcome. Selain itu, mereka saling berhubungan dan dapat mengklasifikasikan pasien menjadi subkelompok yang berbeda yang memberikan informasi prognostik dengan demikian membantu kita untuk menentukan terapi yang paling tepat.5
     Dari berbagai fenotip yang telah diteliti, ada 3 fenotip utama yang memenuhi kriteria, yang berkaitan dengan respons terapi yang berhubungan dengan perbedaan klinis, prognosis dan perbedaan respons terapi terhadap terapi yang saat ini tersedia. Fenotip tersebut adalah fenotip campuran PPOK-asma, fenotip eksaserbator dan fenotip emfisema- hiperinflasi.6
      Fenotip yang mungkin lainnya adalah bronkitis kronik, yang didefinisikan sebagai batuk dan dahak untuk setidaknya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut. Fenotip ini biasanya berhubungan dengan penyakit saluran napas, yang dapat terlihat dengan high resolution computed tomography (HRCT).
    Namun demikian, bronkitis kronik juga dapat menyertai salah satu dari tiga fenotip yang ditunjukkan sebelumnya yai tu campuran PPOK-asma, eksaserbator dan emfisema. Oleh karena itu bronkitis kronik digambarkan sebagai faktor modifikasi terhadap salah satu dari 3 fenotip utama.10
Suatu fenotip sistemik juga telah ditetapkan pada pasien dengan obesitas, penyakit jantung, diabetes atau peradangan sistemik. Hal ini memungkinkan karena pasien-pasien ini mempunyai prognosis yang berbeda. Namun tidak dapat disebut sebagai suatu fenotip PPOK sistemik karena tidak sesuai dengan definisi yang disebutkan sebelumnya, karena manifestasi sistemik (atau komorbid) bukan merupakan manifestasi dari PPOK itu sendiri. Sehingga manifestasi sistemik atau komorbid memang sangat penting namun harus dipisahkan dari fenotip PPOK.11
      Satu fenotip khusus adalah emfisema yang disebabkan oleh defisiensi alfa-1 anti tripsin, suatu faktor risiko genetik yang paling banyak dicatat untuk penyakit obstruksi jalan napas yang ditandai oleh emfisema terutama di basal yang muncul pada tahap awal atau usia muda, terutama pada perokok dan berhubungan dengan genetik. Karena prevalensinya yang sangat sedikit dan hanya terdapat pada 1-2% pasien PPOK, maka fenotip ini dipisahkan dari klasifikasi secara umum.6
Pedoman terapi PPOK yang sudah disusun berdasarkan fenotip adalah Spanish guidelines for COPD (Guía Española de la EPOC; GesEPOC). Spanish guidelines mengusulkan 4 fenotip PPOK yaitu eksaserbator infrequent dengan salah satu bronkitis kronik atau emfisema, overlap PPOK-asma, eksaserbator frequent dengan emfisema dominan dan eksaserbator frequent dengan bronkitis kronik dominan (gambar 1).12
    Eksaserbator infrequent didefinisikan sebagai pasien yang mengalami kurang dari 2 kali eksaserbasi per tahun. Pentingnya mengidentifikasi fenotip ini adalah tidak diperlukannya pemberian antiinflamasi pada pasien kelompok ini. Pengobatan pasien ini didasarkan pada bronkodilator, tunggal atau kombinasi, dan bersama dengan teofilin pada kasus berat.13
       Fenotip PPOK eksaserbator adalah pasien yang mengalami lebih dari 2 kali eksaserbasi per tahun. Fenotip eksaserbator menggarisbawahi pentingnya menanyakan riwayat eksaserbasi saat wawancara klinis dan mengidentifikasi pasien-pasien yang mungkin memerlukan pengobatan antiinflamasi selain bronkodilator. Ketika pasien eksaserbator tidak menunjukkan batuk dan produksi sputum yang kronik serta secara klinis dan radiologis menunjukkan tanda emfisema (air trapping, dispnea dan indeks massa tubuh/IMT yang cenderung rendah), itu merupakan fenotip eksaserbator dengan emfisema. Basis terapi farmakologi adalah bronkodilator jangka lama. Yang lebih sering, eksaserbator menunjukkan bronkitis kronik, yang didefinisikan sebagai batuk produktif atau ekspektorasi lebih dari 3 bulan dalam setahun dan lebih dari 2 tahun berturut-turut. Pasien kelompok ini dapat diobati dengan bronkodilator, kortikosteroid inhalasi, dan berbeda dengan kelompok emfisema, mereka memberikan respons terhadap roflumilast. Ketika tidak dapat menggunakan kortikosteroid inhalasi, maka mukolitik dapat diberikan.14

Fenotip campuran PPOK-asma
    Fenotip campuran PPOK-asma didefinisikan sebagai suatu hambatan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel, disertai dengan tanda atau gejala peningkatan reversibilitas obstruksi. Fenotip ini disebut juga dengan fenotip overlap PPOK-asma.15
Kriteria diagnosis pasien dengan fenotip campuran PPOK-asma yaitu pasien harus memenuhi 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.6,16 Yang termasuk kriteria mayor adalah respons bronkodilator yang sangat positif (>400 ml dan >15% VEP ), eosinofilia sputum atau diagnosis asma sebelumnya. Kriteria minor adalah peningkatan IgE serum total, riwayat atopi atau uji bronkodilator yang positif (>200 ml dan >12% pada VEP ) minimal 2 kali 1 percobaan.
    Penelitian yang dilakukan oleh COPDGene, suatu studi multisenter yang meneliti klasifikasi fenotip PPOK terhadap 2500 subjek didapatkan bahwa subjek dengan PPOK dan asma mempunyai karakteristik dan relevansi klinis yang berbeda. Subjek pada kelompok ini cenderung berusia lebih muda, Afrika-Amerika, mempunyai riwayat merokok yang lebih sedikit. Namun fungsi paru kelompok ini menyerupai kelompok dengan PPOK saja. Namun demikian kelompok ini mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dan lebih cenderung mengalami eksaserbasi dengan frekuensi lebih sering dan berat.17
     Berdasarkan karakteristik klinis, fungsional dan inflamasi pada pasien PPOK dengan fenotip campuran PPOK-asma (tidak hanya keparahan tingkat obstruksi yang diukur dari VEP ), terapi dengan kortikosteroid 1 inhalasi dosis tinggi direkomendasikan. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, pasien PPOK dengan dengan karakteristik fenotip campuran memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid inhalasi, bagaimanapun tingkat fungsi parunya. Pasien yang tidak mempunyai karakteristik fenotip campuran akan mendapatkan hanya sedikit manfaat klinis dengan penambahan kortikosteroid inhalasi dalam long acting bronkodilator.
      Penelitian oleh Lee dkk.18 terhadap 165 subjek pasien PPOK yang diklasifikasikan ke dalam 4 subtipe berdasarkan keparahan emfisema dan obstruksi jalan napas, yaitu dominan-emfisema (indeks emfisema > 20% dan VEP > 45%), dominan-obstruksi (indeks 1 emfisema < 20% dan VEP < 45%), mixed-ringan 1 (indeks emfisema <20% dan VEP > 45%), dan mixed- 1 berat (indeks emfisema > 20% dan VEP < 45%). Subjek diterapi dengan kombinasi long acting b-agonis (LABA) dan kortikosteroid inhalasi selama 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien subtipe dominan-obstruksi memperlihatkan peningkatan VEP yang lebih besar dibanding kelompok dominanemfisema. Kedua subkelompok mixed juga memperlihatkan perbaikan signifikan VEP . Subtipe 1
Gambar 1. Fenotip klinis PPOK yang diusulkan oleh Spanish guidelines for COPD Overlap COPDasthma
phenotype Exacerbator(2 or more exacerbations / year)
(C) (D)
(B)
Infrequent exacerbator (0-1 exacerbations /year)
Emphysema phenotype Chronic bronchitis phenotype
(A)emfisema dominan memperlihatkan tidak ada perbaikan signifikan pada VEP setelah periode terapi. 1
    Saat ini baru panduan yang dikeluarkan oleh The Canadian Thoracic Society dan The Japanese Respiratory Society yang mempertimbangkan karakteristik ini untuk terapi pasien PPOK. The Canadian Guidelines menjelaskan bahwa jika komponen asma (pada PPOK) yang menonjol, maka pengenalan awal dengan kortikosteroid inhalasi dapat dibenarkan. Sedangkan The Japanese Guidelines menjelaskan bab tersendiri terapi PPOK dengan komplikasi asma.15
Fenotip eksaserbator Eksaserbasi PPOK ditandai oleh satu atau lebih gejala respiratorik seperti peningkatan gejala sesak, peningkatan gejala batuk, wheezing, peningkatan produksi sputum dan/atau purulensi sputum. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan erat antara frekuensi eksaserbasi dengan penurunan HRQoL.
   Meningkatnya frekuensi eksaserbasi akan berakibat pada prognosis yang buruk, meningkatnya risiko kematian, terlepas dari tingkat keparahan penyakit. Dengan demikian diyakini bahwa pasien “eksaserbator” mempunyai kelompok tersendiri dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga pendekatan terapi harus berbeda dan intensif.13 Fenotip eksaserbator diidentifikasi saat didapatkan kriteria terjadi 2 atau lebih eksaserbasi dalam setahun, waktu antara terjadinya eksaserbasi harus berjarak minimal 4 minggu setelah akhir pengobatan eksaserbasi sebelumnya atau 6 minggu
Tabel 2. Terapi farmakologis PPOK berdasarkan fenotip klinis dan tingkat keparahan pada The Spanish guidelines for COPD
Phenotype
A Infrequent exacerbator
B Overlap COPDasthma
C Exacerbator with emphysema
D Exacerbator with chronic bronchitis
I
LAMA or LABA
SABA or SAMA
LABA + ICS
LAMA or LABA
LAMA or LABA
II
LAMA or LABA
LAMA + LABA
LABA + ICS
(LABA or LAMA) +
ICS
LAMA + LABA
LAMA or LABA
(LAMA or LABA) +
(ICS or PDE4I)
LAMA + LABA
LAMA or LABA
III
LAMA + LABA
LAMA + LABA + ICS
LAMA + LABA + ICS
LAMA + LABA + (ICS or PDE4I)
(LAMA or LABA) + ICS + PDE4I
(consider adding carbocisteine)
IV
LAMA + LABA + theophylline
LAMA + LABA +ICS
(consider adding theophylline or PDE4I if there is expectoration)
LAMA + LABA + ICS
(consider adding theophylline)
LAMA + LABA + (ICS or PDE4I)
LAMA + LABA + ICS + PDE4I
(consider adding carbocisteine)
(consider adding theophylline)
Severity stages
Dikutip dari (12)
Tabel 1. Fenotip PPOK yang diidentifikasi berdasarkan analisis kluster PCA.
Usia
Penyakit pernapasan
Status nutrisi
Gagal jantung kronik
Depresi
Penurunan health-related quality of life
Fenotip
tua/ringan
2:
Tua
Ringan
Overweight
Tidak ada
Tidak ada
Ringan
Fenotip
muda/sedang
3:
Muda
Sedang
Sedang
Tidak ada
Tidak ada
Sedang
Fenotip
muda/berat
4:
Tua
Sedang
Sedang
Sering
Sering
Berat
Muda
Sangat berat
Underweight
Tidak ada
Sangat sering
Sangat berat
Fenotip
muda/berat
1:
Dikutip dari (8)
Keterangan:
LAMA : Long-acting anticholinergic agent, LABA : Long-acting b agonist, SABA : Short-acting b agonist, SAMA : Short-acting anticholinergic agent, 2 2
ICS : Inhaled corticosteroid, PDE4I : Phosphodiesterase-4 inhibitor sejak terjadinya eksaserbasi pada kasus yang tidak mendapat pengobatan.6
     Pada fenotip eksaserbator pemberian bronkodilator kerja lama yang merupakan langkah pertama dalam pengobatan PPOK telah terbukti dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi. Ketika eksaserbasi menetap setelah pengobatan bronkodilator, diindikasikan pemberian antiinflamasi. Berbagai panduan klinis praktis menunjukkan kegunaan pemberian kortikosteroid inhalasi pada pasien dengan kekerapan eksaserbasi. Penggunaan kortikosteroid terutama bila bersamaan dengan bronkodilator, menurunkan jumlah eksaserbasi secara signifikan dan memperbaiki health-related quality of life (HRQoL).6
      Roflumilast merupakan obat antiinflamasi oral baru yang bekerja dengan cara menghambat secara selektif phosphodiesterase-4 yang telah terbukti dapat mencegah eksaserbasi pada pasien PPOK berat dengan batuk dan produksi sputum kronik dan juga sering eksaserbasi, sehingga diindikasikan juga untuk fenotip eksaserbator dengan bronkitis kronik.19
Makrolid diberikan untuk jangka lama juga dapat mempunyai indikasi khusus untuk beberapa pasien kelompok ini karena ia mempunyai efek antiinflamasi dan imunomodulator di samping efek antibakteri.
    Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa penggunaan obat ini pada pasien stabil dengan PPOK berat dapat mengurangi jumlah eksaserbasi, namun dapat meningkatkan kemungkinan risiko resistensi bakteri.20
     Studi oleh Pomares dkk.21 meneliti manfaat klinis pemberian azitromisin jangka panjang untuk mencegah eksaserbasi. Dua puluh pasien diberikan azitromisin tablet 500 mg sekali sehari 3 kali seminggu (senin, rabu, jum'at) selama 12 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa azitromisin ditoleransi dengan baik dan berhubungan dengan penurunan signifikan eksaserbasi akut PPOK, perawatan rumah sakit, dan lamanya perawatan rumah sakit pada pasien dengan PPOK berat, yaitu sebanyak 70% pada kelompok mikroorganisme patogen potensial dan 43,5% pada kelompok pseudomonas aeruginosa. Selanjutnya, mengingat peranan mikroorganisme patogen potensial sebagai pencetus eksaserbasi, dianjurkan pemberian antibiotik selama periode stabil (antibiotik kemoprofilaksis atau pengobatan infeksi bronkial kronik) yang bermanfaat untuk menurunkan eksaserbasi. Penelitian dengan pemberian moksifloksasin 400 mg selama 5 hari tiap minggu pada pasien PPOK stabil terbukti menurunkan eksaserbasi 45% pada pasien dengan sputum purulen atau mukopurulen, tanpa peningkatan signifikan resistensi bakteri. Diperlukan banyak penelitian lebih lanjut untuk membantu menentukan profil pasien serta durasi dan macam antibiotik yang diperlukan.22
Fenotip emfisema-hiperinflasi
     Selama beberapa tahun terakhir banyak penelitian telah menunjukkan bahwa variabel seperti dispnea, kapasitas latihan, dan hiperinflasi dapat memprediksi mortalitas secara independen dari fungsi paru dan variabel tersebut merupakan prediktor yang lebih baik dibanding VEP itu sendiri. Hal ini menentukan ditetapkannya fenotip emfisemahiperinflasi PPOK sebagai kelompok pasien dengan risiko mortalitas lebih tinggi yang memperlihatkan beberapa perbedaan tertentu yang akan berkaitan
dengan pengobatan.6
       Fenotip emfisema hiperinflasi didefinisikan sebagai pasien PPOK dengan dispnea dan intoleransi
latihan sebagai gejala yang dominan, yang sering disertai dengan tanda hiperinflasi. Pasien dengan fenotip emfisema biasanya cenderung mempunyai indeks massa tubuh (IMT) yang rendah. Bentuk klinis PPOK ditandai dengan data fungsional terdapat hiperinflasi, emfisema pada studi high resolution computed tomography (HRCT), dan/atau tes kapasitas difusi yang rendah dibanding nilai rujukan, diukur dengan rasio kapasitas difusi karbonmonoksida terhadap volume alveolar (DLCO/VA) yang disesuaikan terhadap hemoglobin. Terdapatnya emfisema tidak berhubungan dengan risiko lebih besar terjadinya eksaserbasi, kecuali jika bersamaan dengan bronkitis kronik. Pada kasus ini, pasien akan diklasifikasikan sebagai eksaserbator, dan pengobatan harus diprioritaskan untuk menurunkan eksaserbasi. Kepentingan klinis dalam identifikasi fenotip emfisema-hiperinflasi berdasarkan fakta bahwa derajat dispnea, intoleransi latihan, dan hiperinflasi merupakan prediktor untuk mortalitas yang tidak terikat pada tingkat keparahan obstruksi.6
     Hubungan yang signifikan juga telah dibuktikan antara besarnya emfisema yang dievaluasi dengan HRCT dengan tingkat kematian yang lebih besar pada PPOK, terlepas dari tingkat keparahan yang diukur dengan VEP . Dengan cara ini, kita melihat bukti berkembangnya keperluan pemeriksaan HRCT saat mengevaluasi pasien PPOK untuk mengetahui emfisema dan juga untuk mengevaluasi kemungkinan bronkiektasis.23
         Parameter fungsi paru yang paling baik dalam mengevaluasi adanya emfisema adalah kapasitas
pertukaran karbonmonoksida (DLCO), yang berkorelasi baik terhadap keparahan emfisema. Namun satu keterbatasannya adalah DLCO menganalisisis paru secara keseluruhan, tidak seperti HRCT yang dapat mendeteksi suatu kerusakan lokal. Baru-baru ini teknik pencitraan HRCT sering digunakan untuk mendeteksi emfisema paru.24
      Pedoman saat ini merekomendasikan pemberian bronkodilator agar mendapat efek tambahan tanpa meningkatkan efek samping pada pasien dengan kontrol gejala yang buruk. Dalam hal ini, penggunaan terapi bronkodilator ganda (formoterol dan tiotropium) versus monoterapi bronkodilator atau versus kombinasi flutikason-salmeterol, memberikan manfaat fungsional tambahan dengan pengurangan kebutuhan akan obat- obatan, perbaikan gejala dan kualitas hidup.6
     Terapi antiinflamasi dengan kortikosteroid inhalasi yang terutama bertujuan mencegah eksaserbasi, tidak terbukti efektif terhadap fenotip emfisema-hiperinflasi. Begitu juga obat antiinflamasi oral roflumilast tidak memberikan hasil yang baik untuk mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan emfisema, kecuali pada pasien-pasien yang disertai gejala bronkitis kronik.23
       Dengan demikian disimpulkan bahwa pasienpasien dengan fenotip emfisema-hiperinflasi akan
memperoleh manfaat lebih besar dengan penggunaan terapi bronkodilator ganda dan juga dari rehabilitasi pernapasan karena akan memberi efek yang menguntungkan pada dispnea dan toleransi latihan.6

RINGKASAN
    Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang heterogen, namun selama bertahuntahun
kekhususan pasien belum diperhitungkan saat mempertimbangkan pengobatan. Konsep fenotip yang
diaplikasikan pada PPOK menghasilkan definisi dari pasien-pasien dengan tipe yang berbeda yang berpengaruh signifikan pada prognosis dan terapi. Dengan demikian, pengobatan yang lebih individual berdasarkan tidak hanya tingkat keparahan obstruksi, tapi juga disesuaikan dengan fenotip klinis. Dari berbagai penelitian yang telah mengidentifikasi fenotip PPOK, terdapat tiga fenotip utama yang mendasar, yaitu fenotip campuran PPOKasma, fenotip eksaserbator, dan fenotip emfisema-hiperinflasi.6
   Pada fenotip campuran PPOK-asma, pemberian kortikosteroid inhalasi akan memberikan respons klinis yang baik.15 Pada fenotip eksaserbator pemberian bronkodilator kerja lama telah terbukti dapat
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Ketika eksaserbasi menetap setelah pengobatan bronkodilator, diindikasikan pemberian antiinflamasi seperti kortikosteroid inhalasi atau roflumilast, suatu phosphodiesterase inhibitor. Dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis untuk menurunkan mikroorganisme patogen potensial untuk mencegah eksaserbasi.22
   Pasien dengan fenotip emfisema-hiperinflasi akan memperoleh manfaat lebih besar dengan penggunaan terapi bronkodilator ganda dan juga dengan rehabilitasi pernapasan karena akan memberi
efek yang menguntungkan pada dispnea dan toleransi latihan.25
    Banyak fenotip potensial lainnya yang mungkin telah diusulkan, tetapi fenotip-fenotip ini hanya memiliki sedikit makna klinis. Bagaimanapun usaha mengelompokkan pasien dengan gejala dan manifestasi klinis yang serupa ke dalam fenotip PPOK masih merupakan usaha yang baru dimulai dibandingkan dengan bidang lainnya. Diperlukan usaha lebih lanjut untuk memunculkan konsensus
internasional manajemen PPOK berbasis fenotip.5
277 J Respir Indo Vol. 33, No. 4, Oktober 2013

DAFTAR PUSTAKA


  1. Fabbri LM, Luppi F, Beghe B, Rabe C. Multiple components of COPD. In: Hanania NA,Sharafkhaneh A, editors. COPD a guide to diagnosis and clinical management. New York: Springer; 2011. p.1-20.
  2. World Health Organization. Chronic obstructive pulmonary disease fact sheet. WHO Media Center [Online]. 2012 [Cited 2013 April 8]. Available from: URL: http://www.who.int/mediacentre/
  3. Mosenifar Z. Chronic obstructive pulmonary disease. Medscape reference. [Online] 2013 [Cited 2013 April 12]. Available from: URL: http://www. emedicine.medscape.com/
  4. Burgel PR. The role of small airway in obstructive airway disease. Eur Respir Rev. 2011; 20:23 33.
  5. Han KM, Agusti A, Carverley PM, Celli BR, Fabbri LM, Curtis JL, et al. Chronic obstructive pulmonary disease phenotypes: The future of COPD. Am J Respir Crit Care Med. 2010; 182: 598-604.
  6. Miravitlles M, Calle M, Soler-Cataluna JJ. Clinical phenotypes of COPD: Identification, definition and implications for guidelines. Archivos de Bronconeumologia. 2012; 48:86-98.
  7. Petty TL. COPD: Clinical phenotypes. Pulm Pharmacol Ther. 2002; 15: 341-51.
  8. Burgel PR, Paillasseur JL, Caillaud D, Tillie-Leblond I, Chanez P, Escamilla R, et al. Clinical COPD phenotypes: A novel approach using principal component and cluster analysis. Eur Respir J.2010; 36: 531-9.
  9. Garcia-Aymerich J, Gomez FP, Anto JM. Phenotypic characterization and course of chronic obstructive pulmonary disease in the PAC-COPD study, design and methods. Arch Bronconeumol.2009; 45:4-11.
  10. Mair G, Maclay J, Miller JJ, MacAllister D, Connell M, Murchison JT, et al. Airway dimensions in COPD: Relationship with clinical variables. Respir Med. 2010; 104:1683-90.
  11. Garcia-Aymerich J, Gómez FP, Benet M, Farrero E, Basagana X, Gayete A, et al. Identification and prospective validation of clinically relevant chronic obstructive pulmonary disease (COPD) phenotypes. Thorax. 2011; 66:430-7.
  12. Miravitlles M, Soler-Cataluna JJ, Molina J, Calle M, Almagro P, Quintano P, et al. A new approach to grading and treating COPD based on clinical phenotypes: summary of the Spanish COPD guidelines (GesEPOC). Prim Care Resp J. 2013; 22: 117-21
  13. Hurst JR, Vestbo J, Anzueto A, Locantore N, Müllerova H, Tal-Singer R, et al. Susceptibility to exacerbation in chronic obstructive pulmonary disease. N Engl Med J. 2010; 363:1128-38.
  14. Kim V, Han MK, Vance GB, Make BJ, Newel JD, Hokason JE, et al. The chronic bronchitic phenotype of COPD. An analysis of the COPDGene study.Chest. 2011; 140:626-33.
  15. Piras B, Miravitlles M. The overlap phenotype: The missing) link between asthma and COPD.Multidiscip Respir Med. 2012; 7:8.
  16.  Soler-Cataluna JJ, Cosio B, Izquierdo JL, Lopez-Campos JL, Marin JM, Aguero R, et al. Consensus document on the overlap phenotype COPD-asthma in COPD. Arch Bronconeumol. 2012; 48:331-7.Hardin 
  17. M, Silverman EK, Barr RG, Hansel NN,Schroeder JD, Make BJ, et al. The clinical featuresof the overlap between COPD and asthma. RespirRes. 2011; 12:127.
  18.  Lee JH, Lee YK, Kim EK, Kim TH, Huh JW, Kim WJ,et al. Responses to inhaled long-acting beta-agonist and corticosteroid according to COPD subtype.Respir Med. 2010; 104:542-9.
  19. Fabbri LM, Calverley PMA, Izquierdo-Alonso JL,Bundschuh DS, Brose M, Martinez FJ, et al.Roflumilast in moderate-to-severe chronic obstructive pulmonary disease treated with longacting bronchodilators: Two randomised clinical trials. Lancet. 2009; 374:695-703.
  20. Albert RK, Bailey WC, Casaburi R. Chronic Azithromycin decreases the frequency of chronic pbstructive pulmonary disease exacerbations.American Thoracic Society Congress. 2011; 5:13-8.
  21. Pomares X, Montón C, Espasa M, Casabon J,Monsó E, Gallego M. Long-term Azithromycin therapy in patients with severe COPD and repeated exacerbations. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. J Respir Indo Vol. 33, No. 4, Oktober 2013 278 2011;6:449-56.22. Sethi S, Jones PW, Theron MS, Miravitlles M,
  22. Rubinstein E, Wedzicha JA, et al. Pulsed Moxifloxacin for the prevention of exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: A randomized controlled trial. Respir Res. 2010;11:10.
  23. Haruna A, Muro S, Nakano Y, Ohara T, Hoshino Y,Ogawa E, et al. CT scan findings of emphysema predict mortality in COPD. Chest. 2010; 138:635-40.
  24. Hoesein MFA, Zanen P, Van Ginneken B, Van Klaveren RJ, Lammers JW. Association of the transfer coefficient (Kco) with emphysema progression in male smokers. Eur Respir J. 2011;38:1012-8.
  25. Rennard SI, Calverley PMA, Goehring UM,Bredenbröker D, Martinez FJ. Reduction of exacerbations by the PDE4 inhibitor Roflumilast -The importance of defining different subsets of patients with COPD. Respir Res. 2011; 12:18.279 J Respir Indo Vol. 33, No. 4, Oktober 2013