Saturday, April 19, 2014

COPD : Hubungan Derajat Sesak Napas Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Menurut Kuesioner Modified Medical Research Council Scale dengan Derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik


Dodi Anwar, Yusrizal Chan, Masrul Basyar
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang -
Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang

Abstrak
Latar belakang: Pemeriksaan spirometri wajib dilakukan kepada setiap orang yang mengidap PPOK, namun kalangan praktisi kesehatan seringkali kesulitan mengakses spirometri. Kuesioner MMRC scale digunakan untuk menentukan derajat sesak napas.
Tujuan penelitian ini untuk menentukan hubungan antara derajat sesak napas berdasarkan kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK.
Metode: Dilakukan studi cross sectional terhadap 50 pasien PPOK. Derajat sesak napas ditentukan berdasarkan kuesioner MMRC scale dilanjutkan dengan tes fungsi paru.
Hasil: Sesak napas ringan berhubungan dengan PPOK derajat II, sesak napas sedang berhubungan dengan PPOK derajat III dan sesak napas berat berhubungan dengan PPOK derajat IV. Pasien PPOK derajat 0 mempunyai rata-rata VEP 74,7 ± 3,0%, pasien 1 PPOK derajat I mempunyai rata-rata VEP 62,9 ± 13,0%, pasien PPOK derajat II mempunyai rata-rata VEP 42,2 ± 5,0%, pasien 1 1
PPOK derajat III mempunyai rata-rata VEP 27,3 ± 4,0%. 1
Kesimpulan: Semakin tinggi derajat sesak napas berdasarkan kuesioner MMRC scale, makin tinggi derajat PPOK dan makin
rendah VEP . (J Respir Indo. 2012; 32:200-7) 1
Kata kunci: Kuesioner MMRC scale, sesak napas, derajat PPOK,VEP . 1
Correlation Between The Degree of Breathlessness According to Modified Medical
Research Council Scale (MMRC scale) with The Degree of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease
Abstract
Background: Although spirometry should be undertaken in all patients who may have COPD, in many areas practitioners lack
access to spirometry. MMRC scale questionnaire can be used to assess the breathlessness. The aim of this study was determine the association between the degree of breathlessness according to MMRC scale questionnaire and the degree of COPD. Methods: Cross sectional in 50 stable patiens with COPD. Patients rated dyspnea with MMRC scale questionnaire and then performed lung function test.
Results: Mild dyspnea correlate with stage II COPD, moderate dyspnea correlate with stage III COPD and severe dyspnea correlate with stage IV COPD. COPD patients with degree 0 have median FEV 74.7 ± 3.0%, COPD patients with degree 1 have median FEV 1 1 62.9 ± 13.0%, COPD patients with degree 2 have median FEV 42.2 ± 5.0%, COPD patients with degree 3 have median FEV 27.3 ± 1 1
4.0%.
Conclusion: The higher the degree of dyspnea according to MMRC scale questionnaire, the higher the stage of COPD and the lower the FEV . (J Respir Indo. 2012; 32:200-7) 1
Keywords: MMRC scale questionnaire, dyspnea, COPD stage, FEV . 1
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia. Meskipun biasanya terjadi pada perokok, PPOK bisa juga terjadi pada orang yang tidak merokok akibat pajanan polusi udara. Penyakit paru obstruktif kronik menjadi masalah kesehatan di berbagai negara di mana masyarakatnya mempunyai kebiasaan merokok. Diperkirakan prevalens PPOK akan semakin meningkat di waktu mendatang.1,2
Data badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2002 menunjukkan PPOK menempati urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Diperkirakan jumlah penderita PPOK di Cina tahun 2006 mencapai 38,1 juta 200 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012
PPOK ke rumah sakit.3
Penelitian untuk membuktikan hubungan antara derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK belum pernah dilakukan di Indonesia. Karena pentingnya untuk menentukan derajat penyakit penderita PPOK di berbagai tempat pelayanan kesehatan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kuesioner sesak napas MMRC scale dan hubungannya dengan derajat PPOK sesuai dengan karakteristik penderita PPOK di Indonesia.
METODE
Penelitian dilakukan secara cross sectional terhadap penderita PPOK yang berobat di poliklinik paru rumah sakit Dr. M. Djamil Padang. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Oktober 2011. Kriteria inklusi adalah penderita yang didiagnosis PPOK dan dalam keadaan stabil serta bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent. Peserta penelitian yang masuk dalam kriteria penerimaan mengisi kuesioner MMRC scale dipandu oleh peneliti.8 Setelah mendapatkan derajat sesak napas berdasarkan kuesioner MMRC scale, dilakukan pemeriksaan spirometri untuk mengetahui nilai VEP1
dan rasio VEP /KVP. Data yang diteliti disajikan dalam 1 bentuk tabel dan grafik kemudian diolah secara komputerisasi.
Hubungan antara derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK diuji dengan Chi Square dan hubungan antara derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dengan nilai VEP diuji dengan uji Anova. Uji statistik dianggap 1 bermakna bila p < 0,05.
HASIL
Penelitian dilakukan terhadap penderita PPOK stabil dengan jumlah peserta penelitian sebanyak 50 orang sesuai dengan perhitungan jumlah sampel.
Karakteristik umum semua peserta penelitian ditampilkan pada tabel 1.
Semua peserta penelitian adalah laki-laki dengan usia rata-rata 62,04 ± 9,65 tahun. Usia termuda penderita, Jepang sebanyak 5 juta penderita dan Vietnam sebesar 2 juta penderita. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta penderita PPOK.
Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok karena 90% penderita PPOK adalah
perokok atau bekas perokok.3 Pemeriksaan spirometri perlu dilakukan pada setiap penderita PPOK untuk memastikan diagnosis, menentukan derajat penyakit dan memantau progresivitasnya.
Spirometri penting untuk mengevaluasi perjalanan penyakit tetapi di beberapa tempat peralatan spirometri tidak tersedia sehingga dibutuhkan cara lain seperti melihat keluhan sesak napas, untuk menilai progresivitas dan perjalanan penyakit PPOK.4,5
Sesak napas merupakan masalah utama pada PPOK dan sebagai alasan penderita mencari pengobatan.
Sesak napas bersifat persisten serta progresif dan juga sebagai penyebab ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas. Gejala sesak napas harus dievaluasi secara rutin pada setiap penderita PPOK.
Sesak napas biasanya dinilai dengan menghitung fungsi paru dengan cara spirometri, namun untuk menilai sesak napas pada penderita PPOK dapat juga digunakan kuesioner Modified Medical Research Council scale (MMRC scale). Penelitian di Libanon menyatakan bahwa derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale secara bermakna berhubungan dengan nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP ).5,6,7 1
Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan, masih jauh dari fasilitas pelayanan untuk PPOK. Di samping itu kompetensi sumber daya manusia dan peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK yaitu spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja dan seringkali jauh dari jangkauan puskesmas. Puskesmas sebagai garis terdepan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih mempunyai keterbatasan baik dalam penyediaan sarana diagnosis maupun obat-obatan. Mengikutsertakan dokter umum memiliki dampak positif pada kepatuhan penderita PPOK. Intervensi layanan terpadu terhadap penderita, koordinasi antar tingkat pelayanan, dan meningkatkan aksesibilitas dapat mengurangi kunjungan penderita
J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 201
41 tahun dan usia tertua 80 tahun. Ditinjau dari tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SMA sebanyak 19
orang (38%). Semua peserta penelitian mengeluhkan sesak napas yang meningkat dengan aktivitas dengan lama keluhan rata-rata telah dialami sejak 4,46 ± 3,46 tahun. Berdasarkan kebiasaan merokok yang dihitung
dengan Indeks Brinkman (IB) yang terbanyak adalah IB berat sebanyak 24 orang (48%). Penderita PPOK yang paling banyak ditemukan adalah derajat III (PPOK berat) sebanyak 25 orang (50%). Pada penelitian ini tidak didapatkan penderita PPOK derajat I (PPOK ringan).
Hasil pemeriksaan fungsi paru yang dilakukan pada semua peserta penelitian mendapatkan nilai VEP1 tertinggi sebesar 2,034 liter dan nilai VEP terendah 1 0,462 liter dengan nilai rata-rata 1,030 ± 0,407 liter. Nilai VEP prediksi tertinggi sebesar 78% dan nilai VEP 1 1 prediksi terendah sebesar 22% dengan VEP rata-rata 1 43,1 ± 16,1% prediksi. Nilai KVP tertinggi sebesar 4,894 liter dan nilai KVP terendah sebesar 0,969 liter dengan KVP rata-rata 2,163 ± 0,720 liter. Nilai KVP prediksi tertinggi sebesar 99% dan nilai KVP prediksi terendah
Laki-laki
Usia (tahun)
Tingkat pendidikan
SD
SMP
SMA
Akademi
Sarjana
Lama keluhan (tahun)
Status merokok
Ringan
Sedang
Berat
Pemeriksaan fungsi paru
VEP (L) 1
VEP (% prediksi) 1
KVP (L)
KVP (% prediksi)
VEP / KVP (%) 1
Derajat PPOK
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
Derajat sesak napas
Derajat 0
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3
Derajat 4
50
62,94 ± 9,65
5 (10)
13 (26)
19 (38)
10 (20)
3 (6)
4,46 ± 3,46
3 (6)
23 (46)
24 (48)
1,030 ± 0,407
43,1 ± 16,1
2,163 ± 0,720
65,0 ± 17,7
48,1 ± 10,4
0 (0)
15 (30)
25 (50)
10 (20)
3 (6)
9 (18)
22 (44)
16 (32)
0
Karakteristik Nilai
Tabel 1. Karakteristik peserta penelitian sebesar 28% dengan KVP rata-rata 65,0 ± 17,7%
prediksi. Nilai rasio VEP /KVP tertinggi sebesar 69% 1
dan nilai rasio VEP /KVP terendah sebesar 27% dengan 1
rasio VEP /KVP rata-rata 48,1 ± 10,4%. 1
Ditinjau dari derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale, dari semua peserta penelitian didapatkan yang terbanyak adalah sesak napas derajat 2 sebanyak 22 orang (44%). Pada penelitian ini tidak didapatkan penderita dengan sesak napas derajat 4. Semua peserta penelitian mengeluhkan sesak napas dalam derajat yang berbeda. Jumlah penderita PPOK berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale ditampilkan pada gambar 1.
Pada sesak napas derajat 0 didapatkan penderita
PPOK derajat II sebanyak 3 orang (6%) tetapi tidak didapatkan penderita PPOK derajat III dan derajat IV. Pada sesak napas derajat 1 didapatkan penderita PPOK derajat II sebanyak 8 orang (16%) dan penderita PPOK derajat III sebanyak 1 orang (2%) serta tidak didapatkan penderita PPOK derajat IV. Pada sesak napas derajat 2 didapatkan penderita PPOK derajat II sebanyak 4 orang (8%) dan penderita PPOK derajat III sebanyak 18 orang (36%) serta tidak didapatkan juga penderita PPOK derajat IV. Sedangkan pada sesak napas derajat 3 didapatkan penderita PPOK derajat III sebanyak 6 orang (12%) dan penderita PPOK derajat IV sebanyak 10 orang (20%) serta tidak didapatkan penderita PPOK derajat II.
Tabel 2 menunjukkan hasil pemeriksaan fungsi paru terhadap semua peserta penelitian berdasarkan
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
MMRC 0 MMRC 1 MMRC 2 MMRC 3
PPOK II
PPOK III
PPOK IV
Gambar 1. Jumlah penderita PPOK berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale 202 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012
derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale.
    Pada penderita PPOK dengan sesak napas derajat 0 didapatkan VEP rata-rata sebesar 1,305 ± 0,718 liter 1 atau 74,6 ± 3,0% dan KVP rata-rata sebesar 2,033 ± 0,927 liter atau 80,0 ± 3,4%. Penderita dengan sesak napas derajat 1 didapatkan VEP rata-rata sebesar 1 1,584 ± 0,381 liter atau 62,8 ± 13,0% dan KVP rata-rata sebesar 2,660 ± 0,650 liter atau 77,5 ± 13,9%. Penderita dengan sesak napas derajat 2 didapatkan VEP rata- 1 rata sebesar 1,019 ± 0,211 liter atau 42,0 ± 5,9% dan KVP rata-rata sebesar 2,280 ± 0,758 liter atau 68,1 ± 17,3%. Pada penderita dengan sesak napas derajat 3 didapatkan VEP rata-rata sebesar 0,699 ± 0,125 liter 1 atau 27,2 ± 3,8% dan KVP rata-rata sebesar 1,722 ± 0,407 liter atau 49,8 ± 12,2%.
     Hasil pemeriksaan fungsi paru terhadap semua peserta penelitian berdasarkan derajat PPOK dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan derajat penyakit, pada penderita PPOK derajat II didapatkan nilai VEP rata- rata sebesar 1,517 ± 0,383 liter atau 64,2 ± 9,7% dan nilai KVP rata-rata sebesar 2,709 ± 0,907 liter atau 81,2 ± 15,0%. Pada penderita PPOK derajat III didapatkan nilai VEP rata-rata sebesar 0,897 ± 0,140 liter atau 37,5 1 ± 5,3% dan nilai KVP rata-rata sebesar 2,071 ± 0,452 liter atau 63,1 ± 12,3%. Sedangkan pada penderita PPOK derajat IV didapatkan nilai VEP rata-rata sebesar 0,657 ± 0,140 liter atau 25,0 ± 3,0% dan nilai KVP rata-rata sebesar 1,549 ± 0,288 liter atau 43,8 ± 9,0%.
Hubungan antara derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale dengan derajat PPOK dapat dilihat pada tabel 4. Sesak napas ringan (sesak napas derajat 0 dan 1) paling banyak didapatkan pada penderita PPOK derajat II sebanyak 11 orang (22%). Sesak napas sedang (sesak napas derajat 2) paling banyak didapatkan pada penderita PPOK derajat III sebanyak 18 orang (36%). Sedangkan sesak napas
VEP (L) 1
VEP (% prediksi) 1
KVP (L)
KVP (% prediksi)
MMRC 0
1,305±0,718
74,6±3,0
2,033±0,927
80,0±3,4
1,584±0,381
62,8±13,0
2,660±0,650
77,5±13,9
1,019±0,211
42,0±5,9
2,280±0,758
68,1±17,3
0,699±0,125
27,2±3,8
1,722±0,407
49,8±12,2
MMRC 1 MMRC 2 MMRC 3
Tabel 2. Hasil pemeriksaan fungsi paru berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale
berat (sesak napas derajat 3) paling banyak didapatkan
pada penderita PPOK derajat IV sebanyak 10 orang
(20%). Setelah diuji secara statistik (Chi Square) hasil
yang didapatkan tersebut dianggap bermakna dengan p
0,005.
Semua peserta penelitian mempunyai kebiasaan merokok (tabel 5). Penderita PPOK dengan IB ringan didapatkan pada derajat II, III dan IV. Penderita PPOK dengan IB sedang paling banyak didapatkan pada derajat III sebanyak 13 orang (26%). Sedangkan penderita PPOK dengan IB berat paling banyak didapatkan pada derajat III sebanyak 11 orang (22%).
Bila diuji secara statistik (Chi Square) hasil yang didapatkan tersebut tidak bermakna dengan p 0,761.
Semua peserta penelitian mempunyai keluhan utama sesak napas yang meningkat dengan aktivitas (tabel 6). Penderita PPOK dengan IB ringan didapatkan pada semua derajat sesak napas. Penderita PPOK dengan IB sedang paling banyak didapatkan pada sesak napas sedang sebanyak 11 orang (22%).
Sedangkan penderita PPOK dengan IB berat paling banyak didapatkan pada sesak napas sedang sebanyak 10 orang (20%). Bila diuji secara statistik (Chi Square) hasil yang didapatkan tersebut tidak bermakna dengan p 0,984.
Hubungan antara derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale dengan nilai VEP diketahui dengan uji Anova. Distribusi nilai VEP 1 1 rata-rata semua peserta penelitian berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dapat dilihat pada tabel 7. Penderita PPOK dengan sesak
VEP (L) 1
VEP (% prediksi) 1
KVP (L)
KVP (% prediksi)
PPOK
derajat II
1,517±0,383
62,2±9,7
2,709±0,907
81,2±15,0
PPOK
derajat III
PPOK
derajat IV
1,897±0,140
37,5±5,3
2,071±0,452
63,1±12,3
1,657±0,140
25,0±3,0
1,549±0,288
43,8±9,0
Tabel 3. Hasil pemeriksaan fungsi paru peserta penelitian berdasarkan derajat PPOK J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 203
Sesak napas ringan
Sesak napas sedang
Sesak napas berat
Jumlah
PPOK I
0000
11
40
15
1
18
6
25
00
10
10
PPOK II PPOK III PPOK IV
12
22
16
50
Jumlah
IB ringan
IB sedang
IB berat
PPOK I
000
159
1
13
11
154
PPOK II PPOK III PPOK IV
3
23
24
Jumlah
Tabel 4. Distribusi peserta penelitian berdasarkan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale dan derajat PPOK napas derajat 0 mempunyai VEP sebesar 74,7 ± 3,0%. 1
Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 1 mempunyai VEP sebesar 62,9 ± 13,0%. Penderita 1
PPOK dengan sesak napas derajat 2 mempunyai VEP1 sebesar 42,2 ± 5,0%. Sedangkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 3 mempunyai VEP1 sebesar 27,3 ± 4,0%. Setelah dilakukan uji statistik (uji Anova) hasil yang didapatkan tersebut dianggap bermakna dengan p 0,005. Terdapat perbedaan VEP1 rata-rata pada keempat derajat sesak napas tersebut.

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan terhadap penderita PPOK dengan usia rata-rata 62,04 ± 9,65 tahun. Hampir sama dengan penelitian Safwat dkk.9 tahun 2009 di Mesir terhadap 30 penderita PPOK dengan usia rata-rata 61,5
Tabel 5. Distribusi peserta penelitian berdasarkan status merokok dan derajat PPOK
IB ringan
IB sedang
IB berat
Jumlah
Jumlah
156
12
1
11
10
22
178
16
3
23
24
50
Sesak
napas
berat
Sesak
napas
sedang
Sesak
napas
ringan
Tabel 6. Distribusi peserta penelitian berdasarkan status merokok dan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale
tahun. Penelitian Mahler dkk.7 tahun 2009 di Libanon terhadap 101 penderita PPOK dengan usia rata-rata 66 ± 9 tahun. Penelitian Hajiro dkk.10 tahun 1998 di Jepang terhadap 161 penderita PPOK dengan usia rata-rata 69 ± 7 tahun. Penelitian Camargo dkk.11 tahun 2010 di Brazilia terhadap 50 penderita PPOK dengan usia rata- rata 69 ± 8 tahun. Penelitian Wegner dkk.12 tahun 1994 di
Jerman terhadap 62 penderita PPOK dengan usia rata- rata 69 ± 7 tahun. Penelitian Wells dkk.8 tahun 1988 di AS terhadap 91 penderita PPOK dengan usia rata-rata 57 ± 15 tahun. Sedangkan penelitian Setiyanto dkk.13 tahun 2008 di RS Persahabatan terhadap 120 penderita PPOK mendapatkan usia rata-rata 65,87 ± 9,3 tahun.
Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penderita PPOK umumnya berusia lebih dari 40 tahun.14
Semua peserta penelitian adalah laki-laki. Sama dengan penelitian oleh Safwat dkk.9 dimana semua
peserta penelitiannya adalah laki-laki. Hampir sama dengan penelitian Hajiro dkk.10 dimana 99,4% peserta penelitiannya adalah laki-laki. Sedangkan penelitian Setiyanto dkk.13 mendapatkan laki-laki sebanyak 96,7%. Hal ini juga sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penderita PPOK kebanyakan laki- laki.2
Penelitian mendapatkan semua penderita mempunyai kebiasaan merokok dengan yang terbanyak adalah IB berat sebanyak 48%. Sama dengan penelitian Setiyanto dkk.13 yang juga mendapatkan
penderita dengan IB berat yang terbanyak yaitu sebesar 40%. Kebiasaan merokok merupakan penyebab utama terpenting PPOK, jauh lebih penting dari faktor
0123
IK 95% (%)
74,7±3,0
62,9±13,0
42,2±5,0
27,3±4,0
67,1 - 82,3
52,9 - 72,9
39,7 - 44,8
25,2 - 29,3
Mean±SD (%)
MMRC
scale
VEP1
Tabel 7. Distribusi nilai VEP rata-rata berdasarkan derajat 1 sesak napas menurut kuesioner MMRC scale
204 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalens
yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dan
lamanya merokok.3
     Hubungan antara status merokok dengan derajat PPOK setelah diuji secara statistik (Chi Square)
ternyata tidak bermakna (p 0,761). Meskipun rokok merupakan penyebab utama PPOK dan risiko PPOK tergantung pada jumlah batang rokok yang dihisap tetapi tidak semua perokok akan menderita PPOK. Terjadinya obstruksi di saluran napas disebabkan oleh berbagai faktor etiologi selain rokok seperti misalnya faktor genetik yang juga berperan dalam menimbulkan kelainan tersebut.1,3
   Hubungan antara status merokok dengan derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale setelah diuji secara statistik (Chi Square) juga tidak bermakna (p 0,984). Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya bahwa rokok merupakan penyebab utama PPOK tetapi tidak semua perokok akan menderita PPOK sehingga tidak semua perokok akan mengalami keluhan sesak napas.1,3
    Sesak napas merupakan keluhan utama semua penderita PPOK. Semua peserta penelitian telah mengalami sesak napas selama 4,46 ± 3,46 tahun. Hampir sama dengan penelitian Johansson dkk.15 tahun 2008 di Swedia yang mendapatkan lamanya keluhan penderita PPOK sejak 4,6 ± 3,6 tahun. Penelitian Casaburi dkk.16 tahun 2002 di Inggris mendapatkan lamanya keluhan sejak 8,6 ± 7,4 tahun. Sedangkan penelitian Verkindre dkk.17 tahun 2005 di Perancis mendapatkan lamanya keluhan sejak 9,7 ± 6,9 tahun. Sesak napas pertama kali dirasakan saat melakukan aktivitas yang agak berat seperti mendaki tangga atau berjalan cepat. Ketika VEP semakin menurun sesak napas dirasakan saat aktivitas ringan atau waktu istirahat.5
      Ditinjau dari derajat penyakit, penderita PPOK yang paling banyak ditemukan adalah derajat III ( PPOK berat) sebanyak 25 orang (50%) tetapi penelitian ini tidak mendapatkan penderita PPOK derajat I (PPOK ringan). Sama dengan penelitian Safwat dkk.9 yang paling banyak mendapatkan PPOK derajat III sebanyak 60% dan tidak mendapatkan derajat I. Penelitian Mahler dkk.7 mendapatkan penderita PPOK derajat II yang terbanyak yaitu sebesar 55,4% dan juga tidak mendapatkan penderita PPOK derajat I. Sedangkan penelitian Setiyanto dkk.13 mendapatkan PPOK derajat II yang terbanyak yaitu sebesar 61,7% tetapi PPOK derajat I hanya 0,8%. Menurut kepustakaan penderita PPOK mulai merasakan sesak napas setelah memasuki derajat II sehingga mereka akan memeriksakan kesehatan ke rumah sakit. Penyakit paru obstruktif kronik derajat I adalah yang paling ringan dan penderita tersebut belum menyadari penurunan fungsi paru sehingga jarang yang berobat ke rumah sakit.3
     Berdasarkan pemeriksaan fungsi paru didapatkan VEP rata-rata 43,1 ± 16,1% prediksi. Hampir sama 1 dengan penelitian Hajiro dkk.10 yang mendapatkan VEP1 rata-rata 47,9 ± 17,4%. Penelitian Safwat dkk.9 mendapatkan VEP rata-rata 49,9 ± 15%. Tetapi penelitian Mahler dkk.7 mendapatkan hasil yang lebih tinggi yaitu VEP rata-rata 53 ± 16%. Penelitian Camargo dkk.11mendapatkan VEP rata-rata 52 ± 12%. 1
      Dari semua peserta penelitian didapatkan sesak napas derajat 2 yang terbanyak yaitu sebesar 44% dan tidak didapatkan sesak napas derajat 4. Hasil ini sama dengan penelitian Camargo dkk.11 yang juga paling banyak mendapatkan sesak napas derajat 2 sebesar 46%. Sedangkan penelitian Mahler dkk.7 paling banyak mendapatkan sesak napas derajat 1 yaitu sebesar 37,6%. Penyebab tidak ditemukannya penderita PPOK dengan sesak napas derajat 4 pada penelitian ini adalah sangat beratnya keluhan pada penderita dengan derajat 4 tersebut. Derajat 4 dinyatakan sebagai ketidakmampuan untuk meninggalkan rumah. Penderita bahkan merasa sesak napas pada aktivitas ringan seperti berpakaian. Beratnya keluhan tersebut menyebabkan penderita tidak datang berobat ke rumah sakit.8 Pada penelitian ini didapatkan sesak napas ringan (derajat 0 dan 1) identik dengan PPOK derajat II. Sesak napas sedang (derajat 2) identik dengan PPOK derajat III. Sedangkan sesak napas berat (derajat 3 dan 4) identik dengan PPOK derajat IV. Semakin tinggi derajat sesak napas menurut kuesioner MMRC scale, semakin tinggi pula derajat PPOK. Setelah diuji secara statistik (Chi Square) hal tersebut bermakna. Derajat penyakit sangat penting diketahui dalam penatalaksanaan PPOK. Pengobatan yang diberikan pada seorang penderita PPOK disesuaikan dengan derajat penyakitnya.
       Pada penderita PPOK derajat I hanya diberikan bronkodilator kerja singkat saat dibutuhkan. Pada PPOK derajat II diberikan bronkodilator kerja lama sebagai terapi pemeliharaan disamping bronkodilator kerja singkat saat dibutuhkan. Pada PPOK derajat III, selain diberikan bronkodilator kerja lama sebagai terapi pemeliharaan juga diberikan steroid inhalasi jika memberikan perbaikan klinis. Sedangkan pada PPOK derajat IV, selain diberikan bronkodilator kerja lama sebagai terapi pemeliharaan serta steroid inhalasi jika memberikan perbaikan klinis, juga diberikan terapi oksigen jangka panjang jika gagal napas kronik.1,3 Penelitian juga mendapatkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 0 mempunyai VEP rata- rata sebesar 74,7 ± 3,0%. Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 1 mempunyai VEP rata-rata 1 sebesar 62,9 ± 13,0%. Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 2 mempunyai VEP rata-rata sebesar 42,2 ± 5,0%. Sedangkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 3 mempunyai VEP rata-rata sebesar 27,3 ± 4,0%. Data yang didapatkan menunjukkan semakin tinggi derajat sesak napas penderita menurut kuesioner MMRC scale, semakin rendah nilai VEP . Uji statistik menyatakan terdapat 1 perbedaan nilai VEP rata-rata yang bermakna pada setiap derajat sesak napas.
   Penelitian Mahler dkk.7 mendapatkan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 1,7 ± 0,9 menurut kuesioner MMRC scale mempunyai VEP sebesar 62 ± 18%. Penderita PPOK dengan sesak napas derajat 2,1 ± 0,9 mempunyai VEP sebesar 40 ± 5%. Sedangkan 1penderita PPOK dengan sesak napas derajat 3,0 ± 0,8 mempunyai VEP sebesar 25 ± 2%.7 1
     Menurut kepustakaan penderita PPOK mengalami hambatan aliran udara yang progresif sehingga mereka tidak mampu melakukan ekspirasi secara optimal. Kelainan ini menyebabkan peningkatan volume paru di akhir ekspirasi (hiperinflasi) dengan konsekuensi penurunan kapasitas inspirasi. Hiperinflasi saat istirahat dan saat melakukan aktivitas berkontribusi terhadap terjadinya sesak napas yang selalu dikeluhkan oleh penderita. Adanya hambatan aliran udara dibuktikan dengan pemeriksaan fungsi paru yang ditandai dengan penurunan nilai VEP dan penurunan 1 rasio VEP /KVP.5,18 1
      Pada penelitian ini tidak didapatkan penderita PPOK derajat I dan penderita PPOK dengan sesak napas derajat 4 menurut kuesioner MMRC scale. Hal tersebut menjadi kelemahan penelitian karena tidak dapat dilihat bagaimana hubungan antara PPOK derajat I dengan derajat sesak napas. Demikian juga halnya dengan sesak napas derajat 4, peneliti juga tidak bisa melihat hubungannya dengan derajat PPOK. Kelemahan kedua dari penelitian ini adalah sesak napas ringan juga ditemukan pada sebagian kecil penderita PPOK derajat III. Sesak napas sedang ditemukan pada sebagian kecil penderita PPOK derajat II. Demikian juga halnya dengan sesak napas berat yang juga ditemukan pula pada sebagian kecil penderita PPOK derajat III.

KESIMPULAN

  1. Semakin tinggi derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale, semakin tinggi pula derajat PPOK.
  2. Semakin tinggi derajat sesak napas penderita PPOK menurut kuesioner MMRC scale, semakin rendah nilai VEP . 1


DAFTAR PUSTAKA


  1. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Global strategy for the diagnosis,   management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Updated 2010. Barcelona; GOLD Inc;2010.
  2. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease : Epidemiology, pathofisiology and pathogenesis. Fishman`s pulmonary disease and disorders. 4th eds. New York: The McGraw Hill Companies; 2008. p. 707-28. 206 J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012
  3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: PDPI; 2011.
  4. Celli BR. Update on the management of COPD. Chest. 2008; 133:1451-62.
  5. Mac Nee W. Chronic obstructive pulmonary disease: Epidemiology, physiologi and clinical evaluation. Clinical respiratory medicine. 3rd eds. London: Mosby Elsevier; 2008.p. 491-515.
  6. Alsagaff H, Mukty A. Penyakit obstruksi saluran napas. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:Airlangga University Press; 2008.p.231-3.
  7. Mahler DA, Ward J, Waterman LA, Mc Cusker C, Wallack RZ, Baird JC. Patient reported dyspnea in COPD reliability and association with stage of disease. Chest. 2009; 136 : 1473-9.
  8. Wells CK, Mahler DA. Evaluation of clinical method for rating dyspnea. Chest. 1988; 93 : 580-6.
  9. Satwat T, Wagih K, Fathy D. Correlation between forced expiratory volume in first second (FEV ) and 1 diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) in chronic obstructive pulmonary disease. Egypt J Bronchology. 2009; 3(2):119-22.
  10. Hajiro T, Nishimura K, Tsukino M, Ikeda A, Kajima H, Izumi T. Analysis of clinical methods used to evaluate dyspnea in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 1998; 158:1185-9.
  11. Camargo LA, Pereira CA. Dyspnea in COPD: Beyond the modified medical research council scale. J Bras Pneumol. 2010; 36 (5): 571-8.
  12. Wegner RE, Jorres RA, Kirsten DK, Magnussen A. Factor analysis of exercise capacity, dyspnea ratings and lung function in patients with severe chronic obstructive pulmonary disease. Eur RespirJ. 1994; 7: 725-9.
  13. Setiyanto H, Yunus F, Soepandi PZ. Pola dan sensitivitas kuman PPOK eksaserbasi akut yang mendapat pengobatan echinacea purpurea dan antibiotik siprofloksasin. J Respir Indo. 2008; 28 (3):107-23.
  14. O`Donnell DE, Hernandez P, Kaplan A. Canadian thoracic society recommendation for management of chronic obstructive pulmonary disease – 2008 update – highlight for primary care. Can Respir J. 2008; 15: 1-8.
  15. Johansson G, Lindberg A, Romberg K. Bronchodilator efficacy of tiotropium in patients withmild to moerate COPD. Prim Care Resp J. 2008; 17(3):169-75.
  16. Casaburi R, Mahler DA, Jones PE. A long term evaluation of once daily inhaled tiotropium in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J. 2002; 19 : 217-24.
  17. Verkindre C, Bart F, Aguilaniu B. The effect of tiotropium on hyperinflation and exercise capacity in chronic obstructive pulmonary disease. Respiration. 2006; 73: 420-7.
  18. O`Donnell DE, Banzett RB, Kohlman VC. Pathophysiology of dyspnea in chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2007; 4: 145-68. J Respir Indo Vol. 32, No. 4, Oktober 2012 207

No comments:

Post a Comment