Saturday, April 19, 2014

COPD : Fenotip Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Mufidatun Hasanah, Susanthy Djajalaksana
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

      Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan sindrom klinis dengan banyak komponen paru dan ekstra paru serta heterogenitas signifikan. Istilah fenotip pada PPOK didefinisikan sebagai “satu atau kombinasi beberapa penyakit yang menggambarkan perbedaan antara individu dengan PPOK terkait dengan klinis. Diantara banyak fenotip yang telah diidentifikasi, ada 3 fenotip pokok yang berhubungan dengan perbedaan klinis, prognosis dan perbedaan respons terapi terhadap terapi yang saat ini tersedia. fenotip-fenotip tersebut adalah fenotip campuran PPOK-asma, fenotip eksaserbator, dan fenotip emfisemahiperinflasi.
        Eksaserbator ditandai dengan lebih dari dua eksaserbasi setahun dan selain bronkodilator jangka lama juga memerlukan obat antiinflamasi. Fenotip campuran PPOK-asma menunjukkan gejala peningkatan variabilitas jalan napas dan obstruksi yang tidak sepenuhnya reversibel. fenotip campuran ini memberi respons yang baik terhadap terapi kortikosteroid inhalasi selain bronkodilator. Fenotip emfisema-hiperinflasi menunjukkan respons yang buruk terhadap obat antiinflamasi, bronkodilator jangka lama bersama dengan rehabilitasi merupakan pilihan terapi. Usaha mengelompokkan pasien dengan gejala dan manifestasi klinis yang serupa ke dalam fenotip PPOK masih merupakan usaha yang baru dimulai dibandingkan dengan bidang lainnya. Diperlukan usaha lebih lanjut untuk memunculkan konsensus internasional PPOK berbasis fenotip.
PPOK, fenotip, gejala klinis, pengobatan.

Phenotypes of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
       COPD is a complex syndrome with numerous pulmonary and extrapulmonary components with significant heterogeneity. The term phenotype in the field of COPD is defined as “a single or combination of disease attributes that describe differences between individuals with COPD as they relate to clinically meaningful outcomes”. Among all phenotypes identified, there are three that are associated with prognosis and especially with a different response to currently available therapies. The phenotypes are mixed overlap COPD-asthma, the exacerbator, and the emphysema-hyperinflation. The exacerbator is characterized by the presence of, at least, two exacerbations in previous year, and on top of long-acting bronchodilators, may require anti-inflammatory drugs. The mixed overlap phenotype has symptoms related to the increased variability of airflow and incompletely reversible airflow obstruction. Due to the underlying inflammatory profile, this type have a good response to inhaled corticosteroids in addition to bronchodilators. The emphysema phenotype has a poor therapeutic response to the existing anti-inflammatory drugs with long-acting bronchodilators together with rehabilitation are the treatments of choice. Phenotyping in COPD is a relatively early endeavor. More efforts should be made to bring out international consensus statement on phenotypes-based management of COPD. 
COPD, phenotypes, clinical presentations, treatment

Abstrak
(J Respir Indo. 2013; 33:271-9)
Kata kunci :
Abstract
(J Respir Indo. 2013; 33:271-9)

PENDAHULUAN
    Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) saat ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Merokok dan paparan gas beracun menyebabkan inflamasi dan kerusakan jalan napas serta parenkim paru sehingga berakibat pada keterbatasan aliran jalan napas.1
Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita PPOK sedang sampai berat. Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, menyumbang 5% dari seluruh penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan mortalitas PPOK tersebut didapatkan sebagian besar dari negara dengan penghasilan tinggi.
    Pada tahun 2002, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5, diperkirakan akan meningkat menjadi ke-3 pada tahun 2030 dengan total peningkatan kematian 30% dalam 10 tahun.2 
Definisi masa lalu PPOK memberikan pandangan yang pesimis bahwa proses penyakit tidak dapat diubah dan hanya sedikit terapi yang dapat ditawarkan. Namun pandangan yang lebih optimis telah datang untuk diterima secara luas.3
    Klasifikasi PPOK biasanya didasarkan pada tingkat keparahan obstruksi aliran udara, sebagaimana dinilai menggunakan volume ekspirasi paksa pada detik pertama (VEP ). Dalam beberapa tahun terakhir, telah berkembang pendapat bahwa PPOK adalah penyakit kompleks dengan beberapa manifestasi klinis dan bahwa subjek PPOK tidak dapat dijelaskan dengan hanya menggunakan tingkat keparahan keterbatasan aliran udara. Dengan demikian, banyak prediktor independen lain telah diidentifikasi, termasuk memburuknya dispnea, frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, malnutrisi, depresi dan penurunan health-related quality of life (HRQoL). Selain itu, komorbiditas (misalnya penyakit jantung dan kanker) merupakan penyebab utama kematian dan rawat inap pada pasien PPOK.4
      Tujuan dari klasifikasi fenotip adalah untuk mengidentifikasi kelompok pasien dengan prognosis yang unik atau karakteristik terapeutik, tetapi variasi yang signifikan dan kerancuan masih mengikuti penggunaan istilah ''fenotip'' pada PPOK. Fenotip klasik mengacu pada setiap karakteristik yang dapat diamati dari suatu organisme, dan hingga saat ini, beberapa karakteristik penyakit telah disebut sebagai fenotip PPOK.5

Fenotip PPOK
    Definisi fenotip PPOK secara khusus adalah “satu atau kombinasi beberapa penyakit yang menggambarkan perbedaan antara individu dengan PPOK karena terkait dengan hasil klinis yang bermakna (seperti gejala, eksaserbasi, respons terhadap pengobatan, kecepatan perkembangan dari penyakit, atau kematian)”. Dengan kata lain fenotip PPOK harus mempunyai nilai prediktif yang nyata. Oleh karena itu, fenotip harus mampu mengklasifikasikan pasien menjadi subkelompok dengan nilai prognostik yang memungkinkan untuk menentukan terapi yang terbaik untuk mencapai hasil klinis yang lebih baik.6
       Identifikasi fenotip PPOK secara klinis sejak awal telah digambarkan pada awal tahun 1950-an, ketika Dornhorst mengusulkan perbedaan antara pink puffers dan blue bloaters. Deskripsi ini berdasarkan penilaian klinis subjektif terhadap pasien PPOK. Secara klasik blue bloater digambarkan sebagai pasien dengan usia lebih muda dengan bronkitis kronik, yang sering disertai dengan penyakit jantung kongestif. Pink puffer digambarkan sebagai pasien usia lebih tua dengan pengurusan otot yang terus-menerus, sesak dan gambaran emfisema yang jelas.7
     Penyakit paru obstruktif kronik kemudian semakin diakui sebagai penyakit yang heterogen. Subtipe klasik pink puffer dan blue bloater tidak mampu sepenuhnya menggambarkan heterogenitas ini. Berbagai observasi klinis telah dilakukan selama lebih 40 tahun terhadap sejumlah besar pasien PPOK, dengan menitikberatkan pada penyakit tahap lanjut, didasarkan juga pada studi ekstensif terhadap hubungan struktur-fungsi secara keseluruhan. Analisis kelompok yang berusaha mengatur berbagai informasi sehingga variabel kelompok-kelompok yang heterogen dapat diklasifikasikan menjadi kelompok yang relatif homogen, telah diusulkan untuk menguji heterogenitas fenotip pada penyakit saluran napas.8
     Dalam beberapa tahun terakhir, telah berkembang pendapat bahwa PPOK adalah penyakit kompleks dengan beberapa manifestasi klinis dan bahwa subjek PPOK tidak dapat dijelaskan dengan hanya menggunakan tingkat keparahan keterbatasan aliran udara saja. Banyak penelitian juga telah menunjukkan bahwa tidak semua pasien memberikan respons yang sama terhadap semua obat. Dengan demikian, banyak prediktor independen lain telah diidentifikasi, termasuk memburuknya dispnea, frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, malnutrisi, depresi dan penurunan health-related quality 8 of life (HRQoL). Terdapatnya kesadaran akan perlunya mengidentifikasi berbagai fenotip klinis PPOK maka fenotip PPOK menjadi fokus pada banyak tulisan dan penelitian akhir-akhir ini.6

Fenotip potensial PPOK
     Penelitian PAC–COPD (phenotypic characterization and course of chronic obstructive pulmonary) merupakan suatu penelitian multisenter yang bertujuan untuk mengetahui heterogenitas fenotip PPOK dan sejauh mana heterogenitas ini berkaitan dengan perjalanan klinis. Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 342 pasien PPOK yang rawat inap pertama kali dan diikuti selama empat tahun. Dari penelitian ini didapatkan tiga fenotip yang diidentifikasi dan divalidasi secara prospektif, fenotip tersebut adalah PPOK respiratorik berat, PPOK respiratorik sedang, dan PPOK sistemik.9
     Penelitian oleh Burgel dkk.8 yang menganalisis sebanyak 322 subjek menggunakan analisis kluster principal component analysis (PCA) menghasilkan empat fenotip yang berbeda dari klasifikasi GOLD. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang setara (VEP ) dari fenotip yang berbeda, telah dibedakan 1 dalam gejala, komorbid, dan perkiraan mortalitas (tabel1).
        Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dan dari definisi PPOK sendiri, fenotip klinis yang ditetapkan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu mempunyai nilai prediktif, dan dapat secara prospektif divalidasi untuk tiap outcome. Selain itu, mereka saling berhubungan dan dapat mengklasifikasikan pasien menjadi subkelompok yang berbeda yang memberikan informasi prognostik dengan demikian membantu kita untuk menentukan terapi yang paling tepat.5
     Dari berbagai fenotip yang telah diteliti, ada 3 fenotip utama yang memenuhi kriteria, yang berkaitan dengan respons terapi yang berhubungan dengan perbedaan klinis, prognosis dan perbedaan respons terapi terhadap terapi yang saat ini tersedia. Fenotip tersebut adalah fenotip campuran PPOK-asma, fenotip eksaserbator dan fenotip emfisema- hiperinflasi.6
      Fenotip yang mungkin lainnya adalah bronkitis kronik, yang didefinisikan sebagai batuk dan dahak untuk setidaknya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut. Fenotip ini biasanya berhubungan dengan penyakit saluran napas, yang dapat terlihat dengan high resolution computed tomography (HRCT).
    Namun demikian, bronkitis kronik juga dapat menyertai salah satu dari tiga fenotip yang ditunjukkan sebelumnya yai tu campuran PPOK-asma, eksaserbator dan emfisema. Oleh karena itu bronkitis kronik digambarkan sebagai faktor modifikasi terhadap salah satu dari 3 fenotip utama.10
Suatu fenotip sistemik juga telah ditetapkan pada pasien dengan obesitas, penyakit jantung, diabetes atau peradangan sistemik. Hal ini memungkinkan karena pasien-pasien ini mempunyai prognosis yang berbeda. Namun tidak dapat disebut sebagai suatu fenotip PPOK sistemik karena tidak sesuai dengan definisi yang disebutkan sebelumnya, karena manifestasi sistemik (atau komorbid) bukan merupakan manifestasi dari PPOK itu sendiri. Sehingga manifestasi sistemik atau komorbid memang sangat penting namun harus dipisahkan dari fenotip PPOK.11
      Satu fenotip khusus adalah emfisema yang disebabkan oleh defisiensi alfa-1 anti tripsin, suatu faktor risiko genetik yang paling banyak dicatat untuk penyakit obstruksi jalan napas yang ditandai oleh emfisema terutama di basal yang muncul pada tahap awal atau usia muda, terutama pada perokok dan berhubungan dengan genetik. Karena prevalensinya yang sangat sedikit dan hanya terdapat pada 1-2% pasien PPOK, maka fenotip ini dipisahkan dari klasifikasi secara umum.6
Pedoman terapi PPOK yang sudah disusun berdasarkan fenotip adalah Spanish guidelines for COPD (Guía Española de la EPOC; GesEPOC). Spanish guidelines mengusulkan 4 fenotip PPOK yaitu eksaserbator infrequent dengan salah satu bronkitis kronik atau emfisema, overlap PPOK-asma, eksaserbator frequent dengan emfisema dominan dan eksaserbator frequent dengan bronkitis kronik dominan (gambar 1).12
    Eksaserbator infrequent didefinisikan sebagai pasien yang mengalami kurang dari 2 kali eksaserbasi per tahun. Pentingnya mengidentifikasi fenotip ini adalah tidak diperlukannya pemberian antiinflamasi pada pasien kelompok ini. Pengobatan pasien ini didasarkan pada bronkodilator, tunggal atau kombinasi, dan bersama dengan teofilin pada kasus berat.13
       Fenotip PPOK eksaserbator adalah pasien yang mengalami lebih dari 2 kali eksaserbasi per tahun. Fenotip eksaserbator menggarisbawahi pentingnya menanyakan riwayat eksaserbasi saat wawancara klinis dan mengidentifikasi pasien-pasien yang mungkin memerlukan pengobatan antiinflamasi selain bronkodilator. Ketika pasien eksaserbator tidak menunjukkan batuk dan produksi sputum yang kronik serta secara klinis dan radiologis menunjukkan tanda emfisema (air trapping, dispnea dan indeks massa tubuh/IMT yang cenderung rendah), itu merupakan fenotip eksaserbator dengan emfisema. Basis terapi farmakologi adalah bronkodilator jangka lama. Yang lebih sering, eksaserbator menunjukkan bronkitis kronik, yang didefinisikan sebagai batuk produktif atau ekspektorasi lebih dari 3 bulan dalam setahun dan lebih dari 2 tahun berturut-turut. Pasien kelompok ini dapat diobati dengan bronkodilator, kortikosteroid inhalasi, dan berbeda dengan kelompok emfisema, mereka memberikan respons terhadap roflumilast. Ketika tidak dapat menggunakan kortikosteroid inhalasi, maka mukolitik dapat diberikan.14

Fenotip campuran PPOK-asma
    Fenotip campuran PPOK-asma didefinisikan sebagai suatu hambatan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel, disertai dengan tanda atau gejala peningkatan reversibilitas obstruksi. Fenotip ini disebut juga dengan fenotip overlap PPOK-asma.15
Kriteria diagnosis pasien dengan fenotip campuran PPOK-asma yaitu pasien harus memenuhi 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.6,16 Yang termasuk kriteria mayor adalah respons bronkodilator yang sangat positif (>400 ml dan >15% VEP ), eosinofilia sputum atau diagnosis asma sebelumnya. Kriteria minor adalah peningkatan IgE serum total, riwayat atopi atau uji bronkodilator yang positif (>200 ml dan >12% pada VEP ) minimal 2 kali 1 percobaan.
    Penelitian yang dilakukan oleh COPDGene, suatu studi multisenter yang meneliti klasifikasi fenotip PPOK terhadap 2500 subjek didapatkan bahwa subjek dengan PPOK dan asma mempunyai karakteristik dan relevansi klinis yang berbeda. Subjek pada kelompok ini cenderung berusia lebih muda, Afrika-Amerika, mempunyai riwayat merokok yang lebih sedikit. Namun fungsi paru kelompok ini menyerupai kelompok dengan PPOK saja. Namun demikian kelompok ini mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dan lebih cenderung mengalami eksaserbasi dengan frekuensi lebih sering dan berat.17
     Berdasarkan karakteristik klinis, fungsional dan inflamasi pada pasien PPOK dengan fenotip campuran PPOK-asma (tidak hanya keparahan tingkat obstruksi yang diukur dari VEP ), terapi dengan kortikosteroid 1 inhalasi dosis tinggi direkomendasikan. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, pasien PPOK dengan dengan karakteristik fenotip campuran memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid inhalasi, bagaimanapun tingkat fungsi parunya. Pasien yang tidak mempunyai karakteristik fenotip campuran akan mendapatkan hanya sedikit manfaat klinis dengan penambahan kortikosteroid inhalasi dalam long acting bronkodilator.
      Penelitian oleh Lee dkk.18 terhadap 165 subjek pasien PPOK yang diklasifikasikan ke dalam 4 subtipe berdasarkan keparahan emfisema dan obstruksi jalan napas, yaitu dominan-emfisema (indeks emfisema > 20% dan VEP > 45%), dominan-obstruksi (indeks 1 emfisema < 20% dan VEP < 45%), mixed-ringan 1 (indeks emfisema <20% dan VEP > 45%), dan mixed- 1 berat (indeks emfisema > 20% dan VEP < 45%). Subjek diterapi dengan kombinasi long acting b-agonis (LABA) dan kortikosteroid inhalasi selama 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien subtipe dominan-obstruksi memperlihatkan peningkatan VEP yang lebih besar dibanding kelompok dominanemfisema. Kedua subkelompok mixed juga memperlihatkan perbaikan signifikan VEP . Subtipe 1
Gambar 1. Fenotip klinis PPOK yang diusulkan oleh Spanish guidelines for COPD Overlap COPDasthma
phenotype Exacerbator(2 or more exacerbations / year)
(C) (D)
(B)
Infrequent exacerbator (0-1 exacerbations /year)
Emphysema phenotype Chronic bronchitis phenotype
(A)emfisema dominan memperlihatkan tidak ada perbaikan signifikan pada VEP setelah periode terapi. 1
    Saat ini baru panduan yang dikeluarkan oleh The Canadian Thoracic Society dan The Japanese Respiratory Society yang mempertimbangkan karakteristik ini untuk terapi pasien PPOK. The Canadian Guidelines menjelaskan bahwa jika komponen asma (pada PPOK) yang menonjol, maka pengenalan awal dengan kortikosteroid inhalasi dapat dibenarkan. Sedangkan The Japanese Guidelines menjelaskan bab tersendiri terapi PPOK dengan komplikasi asma.15
Fenotip eksaserbator Eksaserbasi PPOK ditandai oleh satu atau lebih gejala respiratorik seperti peningkatan gejala sesak, peningkatan gejala batuk, wheezing, peningkatan produksi sputum dan/atau purulensi sputum. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan erat antara frekuensi eksaserbasi dengan penurunan HRQoL.
   Meningkatnya frekuensi eksaserbasi akan berakibat pada prognosis yang buruk, meningkatnya risiko kematian, terlepas dari tingkat keparahan penyakit. Dengan demikian diyakini bahwa pasien “eksaserbator” mempunyai kelompok tersendiri dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga pendekatan terapi harus berbeda dan intensif.13 Fenotip eksaserbator diidentifikasi saat didapatkan kriteria terjadi 2 atau lebih eksaserbasi dalam setahun, waktu antara terjadinya eksaserbasi harus berjarak minimal 4 minggu setelah akhir pengobatan eksaserbasi sebelumnya atau 6 minggu
Tabel 2. Terapi farmakologis PPOK berdasarkan fenotip klinis dan tingkat keparahan pada The Spanish guidelines for COPD
Phenotype
A Infrequent exacerbator
B Overlap COPDasthma
C Exacerbator with emphysema
D Exacerbator with chronic bronchitis
I
LAMA or LABA
SABA or SAMA
LABA + ICS
LAMA or LABA
LAMA or LABA
II
LAMA or LABA
LAMA + LABA
LABA + ICS
(LABA or LAMA) +
ICS
LAMA + LABA
LAMA or LABA
(LAMA or LABA) +
(ICS or PDE4I)
LAMA + LABA
LAMA or LABA
III
LAMA + LABA
LAMA + LABA + ICS
LAMA + LABA + ICS
LAMA + LABA + (ICS or PDE4I)
(LAMA or LABA) + ICS + PDE4I
(consider adding carbocisteine)
IV
LAMA + LABA + theophylline
LAMA + LABA +ICS
(consider adding theophylline or PDE4I if there is expectoration)
LAMA + LABA + ICS
(consider adding theophylline)
LAMA + LABA + (ICS or PDE4I)
LAMA + LABA + ICS + PDE4I
(consider adding carbocisteine)
(consider adding theophylline)
Severity stages
Dikutip dari (12)
Tabel 1. Fenotip PPOK yang diidentifikasi berdasarkan analisis kluster PCA.
Usia
Penyakit pernapasan
Status nutrisi
Gagal jantung kronik
Depresi
Penurunan health-related quality of life
Fenotip
tua/ringan
2:
Tua
Ringan
Overweight
Tidak ada
Tidak ada
Ringan
Fenotip
muda/sedang
3:
Muda
Sedang
Sedang
Tidak ada
Tidak ada
Sedang
Fenotip
muda/berat
4:
Tua
Sedang
Sedang
Sering
Sering
Berat
Muda
Sangat berat
Underweight
Tidak ada
Sangat sering
Sangat berat
Fenotip
muda/berat
1:
Dikutip dari (8)
Keterangan:
LAMA : Long-acting anticholinergic agent, LABA : Long-acting b agonist, SABA : Short-acting b agonist, SAMA : Short-acting anticholinergic agent, 2 2
ICS : Inhaled corticosteroid, PDE4I : Phosphodiesterase-4 inhibitor sejak terjadinya eksaserbasi pada kasus yang tidak mendapat pengobatan.6
     Pada fenotip eksaserbator pemberian bronkodilator kerja lama yang merupakan langkah pertama dalam pengobatan PPOK telah terbukti dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi. Ketika eksaserbasi menetap setelah pengobatan bronkodilator, diindikasikan pemberian antiinflamasi. Berbagai panduan klinis praktis menunjukkan kegunaan pemberian kortikosteroid inhalasi pada pasien dengan kekerapan eksaserbasi. Penggunaan kortikosteroid terutama bila bersamaan dengan bronkodilator, menurunkan jumlah eksaserbasi secara signifikan dan memperbaiki health-related quality of life (HRQoL).6
      Roflumilast merupakan obat antiinflamasi oral baru yang bekerja dengan cara menghambat secara selektif phosphodiesterase-4 yang telah terbukti dapat mencegah eksaserbasi pada pasien PPOK berat dengan batuk dan produksi sputum kronik dan juga sering eksaserbasi, sehingga diindikasikan juga untuk fenotip eksaserbator dengan bronkitis kronik.19
Makrolid diberikan untuk jangka lama juga dapat mempunyai indikasi khusus untuk beberapa pasien kelompok ini karena ia mempunyai efek antiinflamasi dan imunomodulator di samping efek antibakteri.
    Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa penggunaan obat ini pada pasien stabil dengan PPOK berat dapat mengurangi jumlah eksaserbasi, namun dapat meningkatkan kemungkinan risiko resistensi bakteri.20
     Studi oleh Pomares dkk.21 meneliti manfaat klinis pemberian azitromisin jangka panjang untuk mencegah eksaserbasi. Dua puluh pasien diberikan azitromisin tablet 500 mg sekali sehari 3 kali seminggu (senin, rabu, jum'at) selama 12 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa azitromisin ditoleransi dengan baik dan berhubungan dengan penurunan signifikan eksaserbasi akut PPOK, perawatan rumah sakit, dan lamanya perawatan rumah sakit pada pasien dengan PPOK berat, yaitu sebanyak 70% pada kelompok mikroorganisme patogen potensial dan 43,5% pada kelompok pseudomonas aeruginosa. Selanjutnya, mengingat peranan mikroorganisme patogen potensial sebagai pencetus eksaserbasi, dianjurkan pemberian antibiotik selama periode stabil (antibiotik kemoprofilaksis atau pengobatan infeksi bronkial kronik) yang bermanfaat untuk menurunkan eksaserbasi. Penelitian dengan pemberian moksifloksasin 400 mg selama 5 hari tiap minggu pada pasien PPOK stabil terbukti menurunkan eksaserbasi 45% pada pasien dengan sputum purulen atau mukopurulen, tanpa peningkatan signifikan resistensi bakteri. Diperlukan banyak penelitian lebih lanjut untuk membantu menentukan profil pasien serta durasi dan macam antibiotik yang diperlukan.22
Fenotip emfisema-hiperinflasi
     Selama beberapa tahun terakhir banyak penelitian telah menunjukkan bahwa variabel seperti dispnea, kapasitas latihan, dan hiperinflasi dapat memprediksi mortalitas secara independen dari fungsi paru dan variabel tersebut merupakan prediktor yang lebih baik dibanding VEP itu sendiri. Hal ini menentukan ditetapkannya fenotip emfisemahiperinflasi PPOK sebagai kelompok pasien dengan risiko mortalitas lebih tinggi yang memperlihatkan beberapa perbedaan tertentu yang akan berkaitan
dengan pengobatan.6
       Fenotip emfisema hiperinflasi didefinisikan sebagai pasien PPOK dengan dispnea dan intoleransi
latihan sebagai gejala yang dominan, yang sering disertai dengan tanda hiperinflasi. Pasien dengan fenotip emfisema biasanya cenderung mempunyai indeks massa tubuh (IMT) yang rendah. Bentuk klinis PPOK ditandai dengan data fungsional terdapat hiperinflasi, emfisema pada studi high resolution computed tomography (HRCT), dan/atau tes kapasitas difusi yang rendah dibanding nilai rujukan, diukur dengan rasio kapasitas difusi karbonmonoksida terhadap volume alveolar (DLCO/VA) yang disesuaikan terhadap hemoglobin. Terdapatnya emfisema tidak berhubungan dengan risiko lebih besar terjadinya eksaserbasi, kecuali jika bersamaan dengan bronkitis kronik. Pada kasus ini, pasien akan diklasifikasikan sebagai eksaserbator, dan pengobatan harus diprioritaskan untuk menurunkan eksaserbasi. Kepentingan klinis dalam identifikasi fenotip emfisema-hiperinflasi berdasarkan fakta bahwa derajat dispnea, intoleransi latihan, dan hiperinflasi merupakan prediktor untuk mortalitas yang tidak terikat pada tingkat keparahan obstruksi.6
     Hubungan yang signifikan juga telah dibuktikan antara besarnya emfisema yang dievaluasi dengan HRCT dengan tingkat kematian yang lebih besar pada PPOK, terlepas dari tingkat keparahan yang diukur dengan VEP . Dengan cara ini, kita melihat bukti berkembangnya keperluan pemeriksaan HRCT saat mengevaluasi pasien PPOK untuk mengetahui emfisema dan juga untuk mengevaluasi kemungkinan bronkiektasis.23
         Parameter fungsi paru yang paling baik dalam mengevaluasi adanya emfisema adalah kapasitas
pertukaran karbonmonoksida (DLCO), yang berkorelasi baik terhadap keparahan emfisema. Namun satu keterbatasannya adalah DLCO menganalisisis paru secara keseluruhan, tidak seperti HRCT yang dapat mendeteksi suatu kerusakan lokal. Baru-baru ini teknik pencitraan HRCT sering digunakan untuk mendeteksi emfisema paru.24
      Pedoman saat ini merekomendasikan pemberian bronkodilator agar mendapat efek tambahan tanpa meningkatkan efek samping pada pasien dengan kontrol gejala yang buruk. Dalam hal ini, penggunaan terapi bronkodilator ganda (formoterol dan tiotropium) versus monoterapi bronkodilator atau versus kombinasi flutikason-salmeterol, memberikan manfaat fungsional tambahan dengan pengurangan kebutuhan akan obat- obatan, perbaikan gejala dan kualitas hidup.6
     Terapi antiinflamasi dengan kortikosteroid inhalasi yang terutama bertujuan mencegah eksaserbasi, tidak terbukti efektif terhadap fenotip emfisema-hiperinflasi. Begitu juga obat antiinflamasi oral roflumilast tidak memberikan hasil yang baik untuk mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan emfisema, kecuali pada pasien-pasien yang disertai gejala bronkitis kronik.23
       Dengan demikian disimpulkan bahwa pasienpasien dengan fenotip emfisema-hiperinflasi akan
memperoleh manfaat lebih besar dengan penggunaan terapi bronkodilator ganda dan juga dari rehabilitasi pernapasan karena akan memberi efek yang menguntungkan pada dispnea dan toleransi latihan.6

RINGKASAN
    Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang heterogen, namun selama bertahuntahun
kekhususan pasien belum diperhitungkan saat mempertimbangkan pengobatan. Konsep fenotip yang
diaplikasikan pada PPOK menghasilkan definisi dari pasien-pasien dengan tipe yang berbeda yang berpengaruh signifikan pada prognosis dan terapi. Dengan demikian, pengobatan yang lebih individual berdasarkan tidak hanya tingkat keparahan obstruksi, tapi juga disesuaikan dengan fenotip klinis. Dari berbagai penelitian yang telah mengidentifikasi fenotip PPOK, terdapat tiga fenotip utama yang mendasar, yaitu fenotip campuran PPOKasma, fenotip eksaserbator, dan fenotip emfisema-hiperinflasi.6
   Pada fenotip campuran PPOK-asma, pemberian kortikosteroid inhalasi akan memberikan respons klinis yang baik.15 Pada fenotip eksaserbator pemberian bronkodilator kerja lama telah terbukti dapat
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Ketika eksaserbasi menetap setelah pengobatan bronkodilator, diindikasikan pemberian antiinflamasi seperti kortikosteroid inhalasi atau roflumilast, suatu phosphodiesterase inhibitor. Dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis untuk menurunkan mikroorganisme patogen potensial untuk mencegah eksaserbasi.22
   Pasien dengan fenotip emfisema-hiperinflasi akan memperoleh manfaat lebih besar dengan penggunaan terapi bronkodilator ganda dan juga dengan rehabilitasi pernapasan karena akan memberi
efek yang menguntungkan pada dispnea dan toleransi latihan.25
    Banyak fenotip potensial lainnya yang mungkin telah diusulkan, tetapi fenotip-fenotip ini hanya memiliki sedikit makna klinis. Bagaimanapun usaha mengelompokkan pasien dengan gejala dan manifestasi klinis yang serupa ke dalam fenotip PPOK masih merupakan usaha yang baru dimulai dibandingkan dengan bidang lainnya. Diperlukan usaha lebih lanjut untuk memunculkan konsensus
internasional manajemen PPOK berbasis fenotip.5
277 J Respir Indo Vol. 33, No. 4, Oktober 2013

DAFTAR PUSTAKA


  1. Fabbri LM, Luppi F, Beghe B, Rabe C. Multiple components of COPD. In: Hanania NA,Sharafkhaneh A, editors. COPD a guide to diagnosis and clinical management. New York: Springer; 2011. p.1-20.
  2. World Health Organization. Chronic obstructive pulmonary disease fact sheet. WHO Media Center [Online]. 2012 [Cited 2013 April 8]. Available from: URL: http://www.who.int/mediacentre/
  3. Mosenifar Z. Chronic obstructive pulmonary disease. Medscape reference. [Online] 2013 [Cited 2013 April 12]. Available from: URL: http://www. emedicine.medscape.com/
  4. Burgel PR. The role of small airway in obstructive airway disease. Eur Respir Rev. 2011; 20:23 33.
  5. Han KM, Agusti A, Carverley PM, Celli BR, Fabbri LM, Curtis JL, et al. Chronic obstructive pulmonary disease phenotypes: The future of COPD. Am J Respir Crit Care Med. 2010; 182: 598-604.
  6. Miravitlles M, Calle M, Soler-Cataluna JJ. Clinical phenotypes of COPD: Identification, definition and implications for guidelines. Archivos de Bronconeumologia. 2012; 48:86-98.
  7. Petty TL. COPD: Clinical phenotypes. Pulm Pharmacol Ther. 2002; 15: 341-51.
  8. Burgel PR, Paillasseur JL, Caillaud D, Tillie-Leblond I, Chanez P, Escamilla R, et al. Clinical COPD phenotypes: A novel approach using principal component and cluster analysis. Eur Respir J.2010; 36: 531-9.
  9. Garcia-Aymerich J, Gomez FP, Anto JM. Phenotypic characterization and course of chronic obstructive pulmonary disease in the PAC-COPD study, design and methods. Arch Bronconeumol.2009; 45:4-11.
  10. Mair G, Maclay J, Miller JJ, MacAllister D, Connell M, Murchison JT, et al. Airway dimensions in COPD: Relationship with clinical variables. Respir Med. 2010; 104:1683-90.
  11. Garcia-Aymerich J, Gómez FP, Benet M, Farrero E, Basagana X, Gayete A, et al. Identification and prospective validation of clinically relevant chronic obstructive pulmonary disease (COPD) phenotypes. Thorax. 2011; 66:430-7.
  12. Miravitlles M, Soler-Cataluna JJ, Molina J, Calle M, Almagro P, Quintano P, et al. A new approach to grading and treating COPD based on clinical phenotypes: summary of the Spanish COPD guidelines (GesEPOC). Prim Care Resp J. 2013; 22: 117-21
  13. Hurst JR, Vestbo J, Anzueto A, Locantore N, Müllerova H, Tal-Singer R, et al. Susceptibility to exacerbation in chronic obstructive pulmonary disease. N Engl Med J. 2010; 363:1128-38.
  14. Kim V, Han MK, Vance GB, Make BJ, Newel JD, Hokason JE, et al. The chronic bronchitic phenotype of COPD. An analysis of the COPDGene study.Chest. 2011; 140:626-33.
  15. Piras B, Miravitlles M. The overlap phenotype: The missing) link between asthma and COPD.Multidiscip Respir Med. 2012; 7:8.
  16.  Soler-Cataluna JJ, Cosio B, Izquierdo JL, Lopez-Campos JL, Marin JM, Aguero R, et al. Consensus document on the overlap phenotype COPD-asthma in COPD. Arch Bronconeumol. 2012; 48:331-7.Hardin 
  17. M, Silverman EK, Barr RG, Hansel NN,Schroeder JD, Make BJ, et al. The clinical featuresof the overlap between COPD and asthma. RespirRes. 2011; 12:127.
  18.  Lee JH, Lee YK, Kim EK, Kim TH, Huh JW, Kim WJ,et al. Responses to inhaled long-acting beta-agonist and corticosteroid according to COPD subtype.Respir Med. 2010; 104:542-9.
  19. Fabbri LM, Calverley PMA, Izquierdo-Alonso JL,Bundschuh DS, Brose M, Martinez FJ, et al.Roflumilast in moderate-to-severe chronic obstructive pulmonary disease treated with longacting bronchodilators: Two randomised clinical trials. Lancet. 2009; 374:695-703.
  20. Albert RK, Bailey WC, Casaburi R. Chronic Azithromycin decreases the frequency of chronic pbstructive pulmonary disease exacerbations.American Thoracic Society Congress. 2011; 5:13-8.
  21. Pomares X, Montón C, Espasa M, Casabon J,Monsó E, Gallego M. Long-term Azithromycin therapy in patients with severe COPD and repeated exacerbations. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. J Respir Indo Vol. 33, No. 4, Oktober 2013 278 2011;6:449-56.22. Sethi S, Jones PW, Theron MS, Miravitlles M,
  22. Rubinstein E, Wedzicha JA, et al. Pulsed Moxifloxacin for the prevention of exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: A randomized controlled trial. Respir Res. 2010;11:10.
  23. Haruna A, Muro S, Nakano Y, Ohara T, Hoshino Y,Ogawa E, et al. CT scan findings of emphysema predict mortality in COPD. Chest. 2010; 138:635-40.
  24. Hoesein MFA, Zanen P, Van Ginneken B, Van Klaveren RJ, Lammers JW. Association of the transfer coefficient (Kco) with emphysema progression in male smokers. Eur Respir J. 2011;38:1012-8.
  25. Rennard SI, Calverley PMA, Goehring UM,Bredenbröker D, Martinez FJ. Reduction of exacerbations by the PDE4 inhibitor Roflumilast -The importance of defining different subsets of patients with COPD. Respir Res. 2011; 12:18.279 J Respir Indo Vol. 33, No. 4, Oktober 2013

No comments:

Post a Comment