Saturday, April 19, 2014

PPOK di Provinsi Jawa Tengah 2008

       Penyakit Paru Obtruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai adanya hambatan aliran pernafasan bersifat reversible sebagian dan progresif yang berhubungan dengan respon inflamasi abnormal dari paru terhadap paparan partikel atau gas berbahaya. (Global Obstructive Lung Disease 2003). Faktor risiko pencetus terjadinya PPOK adalah perokok aktif/pasif, debu dan bahan kimia, polusi udara di dalam atau di luar ruangan, infeksi saluran nafas terutama waktu anak-anak, usia, genetik, jenis kelamin, ras, defisiensi alpha-1 antitripsin, alergi dan autoimunitas.
        Prevalensi kasus PPOK di Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan yaitu dari 0,14% pada tahun 2006 menjadi 0,16% pada tahun 2007, dan 0,20% pada tahun 2008. Prevalensi tertinggi adalah di Kota Tegal sebesar 1,63%.
       


COPD : TERAPI PASIEN ASMA PEROKOK : Peranan Teofilin Dosis Rendah


Ida Bagus Ngurah Rai
Divisi Paru Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana /
RSUP Sanglah Denpasar


ABSTRACT
     We often find outpatient asthma patient smoking. Actively smoking asthma patient showed more severe symptom and more frequent attack than non smoking group of patient. Cigarette smoking induced neutrophilic inflammation in asthma patients airway. Beside that, decreased sensitivity to inhaled or oral corticosteroid treatment also plays very important role in asthma patient who actively smoke. In biomolecular point of view, this steroid insensitivity mainly caused by decreasing in histone deacetylase (HDAC) activity. Cigarette smoking may produced oxidant and cause diminished in the HDAC activity in asthma patient who smoke. Decreased in HDAC activity then prevent corticosteroid to halt inflammatory genes transcription. Several studies found anti inflammation effect of low dose theophylline to deal with this situation. Molecular mechanism and anti inflammatory property of theophylline for this function remains unclear. But several evidence suggest low dose theophylline effective in addition to corticosteroid treatment in asthma patients who currently smoking. Several studies also found low dose theophylline activate HDAC nuclear enzyme and stopped multiple activated inflammatory genes. While corticosteroid play important role in recruitment HDAC to inflammatory genes transcription site. This synergistic action give promising advance in the field of anti inflammation treatment in the future.
Keyword : Asthma, Smoking, Histone deacetylase (HDAC), Low dose teophylline

PENDAHULUAN

      Banyak pasien asma yang aktif merokok kita temukan di klinik. Prevalensi pasien asma yang aktif merokok ini di negara berkembang mencapai 25%.1 Dari 102 pasien asma akut yang menjalani rawat inap di RSUP Sanglah Denpasar, 7,8% adalah perokok aktif dan 18,8% pernah merokok.di rawat inap. Pasien asma yang aktif merokok menunjukkan keluhan asma yang lebih banyak dan lebih sering (≥ 1 kali serangan / hari) dibandingkan dengan kelompok bukan perokok dan bekas perokok (OR 2,39 [95% CI 1,06 – 5,36]). Demikian juga halnya dengan skor tingkat keparahan asma yang lebih tinggi pada kelompok perokok ini.3 Pada perokok aktif yang menderita asma akan terjadi penurunan fungsi paru yang meliputi KVP, VEP1/KVP, kapasiti difusi, dan kapasiti residual fungsional yang lebih tinggi dibandingkan penderita asma yang tidak merokok.4 Berbagai kepustakaan menyatakan asap rokok menginduksi peradangan netrofilik jalan nafas pada pasien asma.5 Suatu penelitian dari Chauduri dkk., membuktikan bahwa penghentian rokok selama 6 minggu akan memberikan pengaruh terhadap perbaikan fungsi paru dan penurunan netrofil sputum.6 Implikasi klinis terpenting akibat rokok adalah terjadinya penurunan respon terhadap kortikosteroid inhalasi,7 dan kortikosteroid oral pada pasien asma yang aktif merokok.8 Pada tingkat molekular, penurunan respon terhadap steroid ini terutama disebabkan oleh penurunan aktiviti enzim histon deasetilase (histone deacetylase,HDAC) oleh oksidan yang dihasilkan asap rokok sehingga penghambatan transkripsi gen inflamasi oleh kortikosteroid tidak terjadi.9 Teofilin, salah satu obat asma yang telah lama dikenal, dalam dosis rendah ternyata dapat menginduksi aktiviti HDCA sehingga memberikan harapan dalam penanganan pasien asma yang aktif merokok.10

PENURUNAN SENSITIVITAS KORTIKOSTEROID

       Merokok mengubah respon terapeutik obat yang dipergunakan pada penyakit saluran nafas, termasuk asma, melalui berbagai mekanisme, antara lain induksi isoenzim hepatik, interaksi farmakodinamik, dan penurunan sensitivitas terhadap kostikosteroid.11 Banyak penelitian yang mencoba menentukan efek merokok terhadap terapi kortikosteroid inhalasi maupun oral dilakukan di seluruh dunia. Suatu penelitian plasebo-kontrol random prospektif buta-ganda yang dilakukan oleh Chalmers dkk. pada tahun 2002 membuktikan pengaruh merokok terhadap terapi kortikosteroid inhalasi pada penderita dengan asma ringan. Penelitian ini melihat efek terapi dengan fluticasone propionate (1000 μg) inhalasi atau plasebo selama 3 minggu pada pasien asma perokok dan non-perokok yangbelum pernah mendapat terapi kortikosteroid. Kesimpulan yang didapat pada penelitian ini adalah merokok akan mengurangi efikasi terapi inhalasi kortikosteroid jangka pendek pada asma ringan.12 Penelitian lain juga mencoba membandingkan efikasi terapi kortikosteroid inhalasi pada pasien asma persisten ringan perokok dan non-perokok. Tomlison dkk. membandingkan pemakaian beclomethasone inhalasi harian dengan dosis 400 μg dengan 2000 μg selama 12 minggu pada kelompok pasien asma ringan perokok dan non-perokok. Penelitian multisenter random buta ganda ini mendapatkan kesimpulan bahwa pasien asma persisten ringan perokok insensitif terhadap kortikosteroid inhalasi dosis rendah dibandingkan kelompok nonperokok. Selanjutnya, dengan peningkatan dosis beclomethasone inhalasi, perbedaan sensitivitas ini dapat dikurangi. Temuan ini memberikan dampak yang penting pada manajemen pasien asma ringan yang merokok.7 Penelitian untuk melihat efek merokok terhadap respon terapi kortikosteroid oral pada asma kronik stabil dilakukan oleh Chauduri dkk. Pada penelitian plasebo-kontrol random ini, subyek penelitian yang diberikan terapi prednisolon 40 mg sehari atau plasebo selama 2 minggu dibagi menjadi kelompok asma perokok, asma bekas perokok, dan asma non-perokok. Efikasi terapi pada penelitian ini dinilai dari VEP1, APE harian, dan skor kontrol asma.
    Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa merokok aktif akan mengurangi efikasi terapi kortikosteroid oral jangka pendek pada asma kronik.13 Insensitivitas asma perokok terhadap efek terapi kortikosteroid telah banyak dibuktikan dari penelitian sebelumnya. Tetapi pertanyaan apakah insensitivitas terhadap kortikosteroid pada perokok ini terjadi pula pada jaringan lain selain jalan nafas masih belum terbukti. Livingston dkk. melakukan suatu penelitian observasional pada 75 pasien asma (39 perokok) dan 78 kontrol sehat (30 perokok) untuk membuktikan hal tersebut. Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah respon limfosit pada kulit dan darah perifer. Penelitian ini akhirnya membuktikan bahwa perokok dengan asma juga mengalami insensitivitas terhadap kortikosteroid pada jaringan lain selain jalan nafas.14

HISTON DEASETILASE DAN INSENSITIVITAS KORTIKOSTEROID

         Merokok akan mengurangi respon terapeutik jaringan terhadap obat– obatan untuk penyakit pernafasan. Kondisi ini terjadi melalui beberapa mekanisme termasuk induksi isoenzim hepatik, interaksi farmakodinamik, sampai insensitivitas kortikosteroid yang menjadi fokus pembicaraan kali ini.. Banyak bukti yang menyebutkan gangguan respon terapeutik terhadap kortikosteroid pada perokok dengan asma atau PPOK dibandingkan kelompok non-perokok. Penyebab penurunan sensitivitas kortikosteroid ini kemungkinan multifaktorial. Salah satu diantaranya adalah variasi fenotif sel inflamasi (penurunan jumlah eosinofil dan peningkatan netrofil) dan gangguan respon sitokin (peningkatan produksi sitokin pro inflamasi IL-4, IL-8, dan TNFα). Faktor lain yang juga memiliki peranan adalah berkurangnya rasio reseptor glukokortikoid α terhadap β. Secara farmakokinetik merokok dibuktikan juga akan mengurangi availabiliti kortikosteroid inhalasi karena peningkatan permeabiliti mukosa jalan nafas, produksi mukus, atau hambatan deposisi obat pada paru. Salah satu hal yang penting adalah terjadinya penurunan aktiviti histon deasetilase (HDAC) pada makrofag alveoli yang menyebabkan peningkatan ekspresi gen inflamasi dan berkurangnya sensitivitas terhadap kortikosteroid.11
         Beberapa penelitian biomolekular membuktikan peranan HDAC pada pasien asma. Ito dkk. pada penelitiannya mendapatkan bahwa peningkatan aktiviti histon asetiltransferase (HAT) dan penurunan aktiviti histon deasetilase (HDAC) pada asma diperkirakan mendasari peningkatan ekspresi gen inflamatori multipel. Ito dkk. juga membuktikan mekanisme di atas dapat dikembalikan sebagian dengan pemberian kortikosteroid inhalasi.15 Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Ito dkk., Cosio dkk. juga melakukan penelitian yang berusaha menentukan aktiviti HAT dan HDAC, serta efek glukokortikoid oral (30 mg prednisolon sehari) pada makrofag alveolar dan sel mononuklir dari darah tepi pada pasien asma. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa glukokortikoid dan teofilin dapat menurunkan respon inflamasi dengan mengatur aktivitas HAT dan HDAC serta aktivasi faktor κB.16 Faktor transkripsi sebagaimana yang sudah diketahui, mengatur ekspresi gen inflamatori yang multiple dan memiliki peranan penting pada penyakit– penyakit inflamasi kronis misalnya asma dan PPOK. Faktor transkripsi adalah protein yang terikat pada sekuens regulatori. Beberapa faktor transkripsi yang sudah jelas berperan dalam penyakit jalan nafas adalah nuclear factor κB (NF-
κB) dan activator protein-1 (AP-1), yang bersama–sama akan mengatur ekspresi beragam protein inflamatori.
         Pada asma dan PPOK, ekspresi gen inflamatori terutama diatur oleh peningkatan asetilasi histone-4 yang dirangsang oleh ikatan NF-κB atau AP-1. Asetilasi histon dibalikkan oleh HDAC. Ekspresi gen inflamatori ditentukan oleh keseimbangan antara HAT yang mengsktivasi transkripsi, serta HDCA yang menghentikan transkripsi tadi. Sampai saat ini alasan dibalik berkurangnya HDAC pada PPOK atau asma masih belum diketahui dengan jelas. Tetapi terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa hal ini terjadi karena inaktivasi enzim stres oksidatif dan stres nitratif. Stres oksidatif akan meningkatkan pembentukan peroksinitrit yang mengolah residu tirosin dengan protein tertentu. Hal tersebut yang kemudian diduga menyebabkan berkurangnya HDAC sehingga terjadi peningkatan ekspresi gen inflamatori dan hambatan respon terhadap glukokortikoid.9 Kortikosteroid telah diketahui dapat menekan beragam gen inflamatori yang teraktivasi pada penyakit–penyakit inflamasi kronis misalnya asma. Kerja kortikosteroid ini terutama dengan cara membalik asetilasi histon dari gen inflamatori yang telah teraktivasi tadi melalui ikatan reseptor glukokortikoid (GR) dengan koaktivator dan perekrutan histon deasetilase-2 (HDAC2).17

TEOFILIN DOSIS RENDAH UNTUK ASMA PEROKOK

      Teofilin adalah suatu metilsantin yang awalnya ditemukan pada teh, dan mulai diisolasi pada akhir abad ke-19. Sampai saat ini teofilin atau bentuk larutan garam etilen diaminnya (aminofilin) masih menjadi terapi standar untuk asma. Keterbatasan utama teofilin adalah efek sampingnya seperti mual, nyeri kepala, dan diuresis, serta yang paling ditakutkan adalah aritmia jantung dan kejang. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa konsentrasi teofilin pada plamsa antara 10 – 20 mg/l akan memberikan efek bronkodilator dengan resiko efek samping yang tidak terlalu tinggi.18
      Efek bronchodilator dari teofilin terjadi karena inhibisi phosphodiesterase (PDE3 dan 4) pada otot polos jalan nafas dan hal ini pula yang menyebabkan efek samping mual, nyeri kepala, dan aritmia jantung. Mekanisme lain dari efek bronchodilator teofilin diduga pada antagonisme bronchokonstriktor adenosin. Belakangan ini banyak penelitian mendapatkan bukti bahwa teofilin pada konsentrasi plasma yang lebih rendah (5 – 10 mg/l) memiliki efek nonbronchodilator, termasuk kerja anti inflamasi dan efek imunomodulator. Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa teofilin dalam konsentrasi rendah dapat mengaktivasi enzim nuclear histon deasetilase sehingga menghentikan gen inflamasi yang telah teraktivasi. Mekanisme kerja ini sinergis dengan kerja kortikosteroid, sehingga menjanjikan terapi anti inflamasi yang baru pada masa yang akan datang.18

Pengaruh Teofilin pada Histon Deasetilase
         Mekanisme molekular dari antiinflamasi teofilin masih belum diketahui dengan jelas, tetapi yang sudah terbukti adalah teofilin dosis rendah dikatakan sebagai tambahan yang efektif dari terapi kortikosteroid dalam mengontrol asma. Kortikosteroid seperti disebutkan sebelumnya, berperan pada penarikan HDAC ke tempat transkripsi gen inflamasi. Inhibisi terjadi pada proses asetilasi dari inti histon yang penting untuk transkripsi gen inflamasi. Teofilin dosis rendah dibuktikan oleh Ito dkk. secara in vitro dan in vivo akan meningkatkan aktiviti HDAC pada sel epitel dan makrofag. HDAC ini akan tersedia untuk ditarik oleh kortikosteroid. Hal inilah yang diprediksi mendasari interaksi kooperatif antara kortikosteroid dengan teofilin.10
        Penelitian lain oleh Borja dkk. juga bertujuan untuk mengukur efek teofilin pada aktiviti HDAC dan ekspresi gen inflamatori pada makrofag alveoli dari pasien dengan PPOK. Pasien PPOK yang dipilih pada penelitian ini karena rendahnya respon terhadap kortikosteroid dan tingginya tingkat stres oksidatif pada pasien PPOK. Penelitian ini mendapatkan teofilin meningkatan aktiviti HDAC enam kali pada pasien PPOK. Penelitian ini menyimpulkan bahwa teofilin kemungkinan dapat mengembalikan responsiviti steroid pada pasien PPOK.19

Hasil Uji Klinik
         Uji klinik mengenai efek teofilin dosis rendah yang dikombinasi dengan kortikosteroid pada asma perokok belum begitu banyak dilakukan. Sebuah pilot study oleh Spears dkk. yang dipublikasikan pada European Respiratory Journal tahun 2009 mencoba untuk membuktikan hal tersebut. Pada penelitian ini teofilin dosis rendah ditambahkan pada terapi beclomethason 200 mg/hari untuk pasien asma ringan sampai sedang usia 18–60 tahun. Enam puluh delapan pasien asma perokok dari praktek swasta, klinik, rumah sakit, dan data base, diikutsertakan pada penelitian eksplorasi kelompok paralel, buta ganda (double blind, paralel group exploratory trial).Seluruh sampel memenuhi kriteria obstruksi aliran udara yang reversibel.
        Pada penelitian ini, sampel memakai kortikosteroid inhalasi saja atau kombinasi dengan inhalasi LABA dan dilakukan penurunan dosis selama 6 minggu untuk kemudian dilakukan penghentian kortikosteroid selama 2 minggu. Setelah itu, barulah pasein mengikuti jadwal kunjungan randomisasi dan pengumpulan data dasar. Randomisasi dilakukan dengan membagi sampel menjadi 3 kelompok (beclomethason inhalasi saja, beclomethason inhalasi dan teofilin, teofilin saja. Hasil akhir yang dinilai adalah perubahan fungsi paru dan skor Asthma Control Questionaire (ACQ).
Setelah 4 minggu, teofilin 400mg/hari yang ditambahkan pada inhalasi beclomethason memperbaiki PEF (39,9L/mnt, 95% CI 10,9 – 68,8) dan skor ACQ (-0,47, 95% CI -0,91 - -0,04), serta peningkatan ringan dari VEP1 prabronkodilator (165, 95% CI -0,99 - -0,11). Spears dkk. pada penelitian ini menyimpulkan bahwa kombinasi teofilin dosis rendah dengan beclomethasone inhalasi menghasilkan perbaikan fungsi paru dan keluhan asma pada pasien asma perokok.20
       Cosio dkk. juga melakukan penelitian sejenis, tetapi pada populasi pasien PPOK. Sampel sebanyak 35 pasien yang rawat inap dengan PPOK eksaserbasi akut dirandomisasi untuk mendapat teofilin dosis rendah (2 X 100 mg sehari) atau plasebo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan teofilin dosis rendah meningkatkan aktivitas HDAC dan selanjutnya mengurangi konsentrasi IL-8 dan TNF-α. Berdasarkan hasil ini kemudian disimpulkan bahwa selama eksaserbasi akut dari PPOK, teofilin dosis rendah dapat meningkatkan aktiviti HDAC dan memperbaiki efek antiinflamasi dari steroid.21

KESIMPULAN
       Terdapat masalah esensial pada pasien asma perokok terkait dengan terapi yaitu insensitivitas terhadap terapi kostikosteroid baik inhalasi maupun oral. Hal ini salah satunya terjadi melalui mekanisme penekanan histon deasetilase (HDCA) oleh oksidan dari asap rokok sehingga mekanisme
penghambatan transkripsi gen inflamasi oleh steroid tidak terjadi. Teofilin dosis rendah dikatakan memberikan harapan pada terapi asma perokok karena terbukti dapat menginduksi HDCA. Uji klinis yang lebih banyak diperlukan untuk melihat peranan teofilin dosis rendah pada pasien asma perokok.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Thomson NC, Chaudhuri R, Livingston E. Asthma and cigarette smoking. Eur Respir J 2004; 24:822-833.
  2. Ngurah Rai IB, Sajinadiyasa IGK. Hubungan merokok dan lama rawat inap pasien asma eksaserbasi akut di RSUP Sanglah Denpasar (in press).
  3. Siroux V, Pin I, Oryszczyn MP, Moual NL, Kauffmann F. Relationships of active smoking to asthma and asthma severity in tha EGEA study. Eur Respir J 2000; 15:470-477.
  4. Boulet L-P, Lemiere C, Archambault R, Carrier G, Descary MC, Deschesnes F. Smoking and asthma. Clinical and radiologic features, lung function, and airway inflammation.CHEST 2006; 129:661-668.
  5. Chalmers GW, MacLeod KJ, Thomson L, Little SA, McSarry C, Thomson NC. Smoking and airway inflammation in patients with mild asthma. CHEST 2001; 120:1917-1922.
  6. Chauduri R, Livingston E, McMahon AD, Lafferty J, Fraser I, Spears M, et al. Effects ofsmoking cessation on lung function and airway inflammation in smokers with asthma. AmJ Respir Crit Care Med 2006; 174:127-133.
  7. Tomlinson JEM, McMahon AD, Chauduri R, Thomson JM, Wood SF, Thomson NC.Efficacy of low and high dose inhaled corticosteroid in smokers versus non-smokers with mild asthma. Thorax 2005; 60:282-287.
  8. Gibson PG. Smokers and ex-smokers with chronic stable asthma did not respond to high dose oral corticosteroids. Evid Based Med 2004; 9:115.
  9. Barnes PJ. Transcription factors in airway diseases. Laboratory Investigation 2006;86:867-872.
  10. Ito K, Lim S, Caramori G, Cosio B, Chung KF, Adcock IM, Barnes PJ. A molecular mechanism of action of theophylline: induction of histone deacetylase activity to decrease inflammatory gene expression. PNAS 2002; 99:8921-8926.
  11. Braganza G, Chauduri R, Thomson NC. Treating patients with respiratory disease who smoke. Ther Adv Respir Dis 2008; 2:95-107.
  12. Chalmers GW, MacLeod KJ, Little SA, Thomson LJ, McSharry CP, Thomson NC. Influence of cigarrette smoking on inhaled corticosteroid treatment in mild asthma Thorax 2002; 57:226-230.
  13. Chauduri R, Livingston E, McMahon AD, Thomson L, Borland W, Thomson NC. Cigarette smoking impairs the therapeutic response to oral corticosteroid in chronic asthma. Am J Respir Crit Care Med 2003; 168: 1308–1311.
  14. Livingston E, Chauduri R, McMahon AD, Fraser I, McSharry CP, Thomson NC. Systemic sensitivity to corticosteroids in smokers with asthma. Eur Respir J 2007; 29: 64–70.
  15. Ito K, Caramori G, Lim S, Oates T, Chung KF, Barnes PJ, et al. Expression and activity of histone deacetylases in human asthmatic airways. Am J Respir Crit Care Med 2002 ;166: 392 – 396.
  16. Cosio BG, Mann B, Ito K, Jazrawi E, Barnes PJ, Chung KF, et al. Histone acetylase and deacetylase activity in alveolar macrophages and blood monocytes in asthma. Am J Respir Crit Care Med 2004; 170: 141–147.
  17. Barnes PJ. How corticosteroids control inflammation: quintiles prize lecture 2005. British Journal of Pharmacolody 2006; 148: 245–254.
  18. Barnes PJ. Drugs for asthma. British Journal of Pharmacolody 2006; 147: S297–S303.
  19. Cosio BG, Tsaprouni L, Ito K, Jazrawi E, Adcock IM, Barnes PJ. Theophylline restores histone deacetylase activity and steroid responses in COPD macrophages. J Exp Med 2000; 5: 689 – 695.
  20. Spears M, Donnelly I, Jolly L, Brannigan M, Ito K, McSharry C, et al. Effect of low-dose
  21. theophylline plus beclomethasone on lung function in smokers with asthma: a pilot study.
  22. Eur Respir J 2009; 33: 1010 – 1017.
  23. Cosio BG, Iglesias A, Rios A, Noguera A, Sala E, Ito K. Low-dose theophylline enhances the anti-inflammatory effects of steroids during exacerbations of COPD. Thorax 2009; 64: 424 – 429.MI

Asuhan keperawatan Pada Klien Dengan Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD)


     
      Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. Sering juga penyakit ini disebut dengan “Chronic Airflow Limitation (CAL)” dan “Chronic Obstructive Lung Diseases (COLD)”

A. ASTHMA BRONCHIALE
1. DEFINISI
    Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.

2. TIPE ASTHMA
      Asthma terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik atau campuran (mixed) :
a. Asthma Alergik /Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab allergen (missal : bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll). Allergen terbanyak adalah airborne dan seasonal (musiman). Pasien dengan asthma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan exzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak. 
b. Idiopathic atau Nonallergic Asthma/Intrinsik, tidak berhubungan secara langsung dengan allergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa agent pharmakologi, beta-adrenergic antagonist dan agent sulfite (penyedap makanan) juga dapat sebagai faktor. Serangan dari asthma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan seringkali dengan berjalannya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis dan emfisema. Beberapa pasien berkembang menjadi asthma campuran. Bentuk asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun). 
c. Asthma Campuran (Mixed Asthma), merupakan bentuk asthma yang paling sering.
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asthma alergi dan idiopatik atau nonalergi.
3. ETIOLOGI
       Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang menonjol pada semua penderita asthma adalah fenomena hiperreaktivitas bronchus. bronchus penderita asthma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non-imunologi. Karena sifat inilah maka serangan asthma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asthma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrim.
e. Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan.
h. Emosi
i. Lain-lain : seperti reflux gastro esofagus.

4. GAMBARAN KLINIS
      Gejala asthma terdiri dari triad : dispnea, batuk dan mengi, gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).
Objektif
· Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.
· Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.
· Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan
· Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.
· Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus)
Subjektif
· Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.
Psikososial
· Cemas, takut dan mudah tersinggung
· Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.

5. PATOFISIOLOGI
      Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang mencetuskan asthma bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas, alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan respon yang sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
        Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asthma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama mengenai orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma progresif. Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain. Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin. Antagonis beta-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien asthma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada pasien ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa ini, misal, salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur. Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan lainnya dari internal pasien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan dikeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan yang dapat berupa dikeluarkannya histamin, bradikinin dan anafilatoksin. Hasil dari hal tersebut timbul 3 gejala yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan sekresi mukus seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Pencetus serangan (alergen, emosi/stress, obat-obatan, infeksi)
Reaksi Antigen dan Antibodi
Release Vasoactive Substance (histamin, bradikinin, anafilatoxin)
­ Permeabilitas Kapiler
· Kontraksi Otot Polos
· Edema mukosa
· Hipersekresi
Obstruksi Saluran Nafas
Hipoventilasi
Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru
Gangguan difusi gas di alveoli
Hipoxemia
Hiperkapnia
Gambar 13 : Skema Patofisiologi Asthma Bronchiale
Untuk melihat derajat beratnya asthma biasanya dilakukan pemeriksaan secara komprehensif dengan menggunakan alat ukur seperti pada tabel 2.
Tabel 2 :Pengkajian Untuk menentukan beratnya Asthma
Manifestasi Klinis Skor 0 Skor 1
a. Penurunan toleransi beraktifitas
b. Penggunaan otot nafas tambahan, adanya retraksi interkostal.
c. Wheezing
d. Respirasi rate permenit
e. Pulse rate permenit
f. Teraba pulsus paradoksus
g. Puncak Expiratory Flow Rate (L/menit)
Ya
Tidak ada
Tidak ada
< 25
< 120
Tidak ada
> 100
Tidak
Ada
Ada
> 25
> 120
ada
< 100
Keterangan : Skor 4/lebih disangkakan asthma berat, klien harus diobservasi untuk menentukan adakah respon dari terapi atau segera dikirim ke rumah sakit.
Konstriksi Otot Polos
Bronchospasme
­ Sekresi Mukus
­ Produksi Mukus
Bersihan jalan  nafas tak efektif
Kerusakan Pertukaran Gas
Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh (Risiko/aktual)
Tabel 3 : Perubahan Dalam Arteri Blood Gas yang berhubungan dengan Asthma
Ringan Sedang Berat Status Asmatikus
PaO2
PaCO2
pH
Elevasi
Menurun
Alkalosis
Normal sampai hipoxemia ringan
Menurun sampai Normal
Alkalosis
Hipoxemia
Elevasi
Alkalosis
Hipoxemia berat
Elevasi Jelas
Asidosis
6. PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronchial :
a. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan :
1) Saatnya serangan
2) Obat-obatan yang telah diberikan (macam dan dosis)
b. Pemberian obat bronchodilator.
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan.
d. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Setelah serangan mereda :
1) Cari faktor penyebab.
2) Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.
7. OBAT-OBATAN
a. Bronchodilator
   Tidak digunakan bronchodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral sebab mekanisme yang berlainan, demikian sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan Teofilin oral maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
    Obat-obatan bronchodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non-selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)
· Obat-obat bronchodilatator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping sistemik lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak dan dewasa. Mula-mula diberikan 2 sedotan dari Metered Aerosol Defire (Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang tiap 4 jam, jika tidak ada perbaikan sampai 10-15 menit berikan Aminophilin intravena.
· Obat-obat Bronchodilatator simpatomimetik memberi efek samping tachicardia, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Anak-anak 0,01 mg/Kg BB subkutan (1 mg permil) dapat diulang tiap 30 menit untuk 2–3x sesuai
kebutuhan.
· Pemberian Aminophilin secara intravena dosis awal 5 – 6 mg/Kg BB dewasa/anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit. Untuk dosis penunjang 0,9 mg/KgBB/Jam secara infus. Efek sampingnya tekanan darah menurun bila dilakukan tidak secara perlahan.
b. Kortikosteroid
Pemberian obat–obat bronchodilatator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjutkan dengan pengobatan kortikosteroid 200 mg hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3 – 4 mg/Kg BB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2 – 4 jam secara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30 – 60 mg prednison atau dengan dosis 1 – 2 mg/Kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara bertahap.
c. Pemberian Oksigen
Melalui kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberikan kelembaban. Obat ekspektoran seperti Gliserolguaiakolat dapat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, maka intake cairan peroral dan infus harus cukup, sesuai dengan prinsip rehidrasi, antibiotik diberikan bila ada infeksi.
d. Beta Agonists
Beta agonists (b-adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan dalam pengobatan asthma dikarenakan obat ini bekerja dengan jalan mendilatasikan otot polos. Adrenergic Agent juga meningkatkan pergerakan cilliary, menurunkan mediator kimia anaphylaxis dan dapat meningkatkan efek broncholasi dari kortikosteroid. Agent adrenergic yang sering digunakan antara lain epinephrine,
albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetharine dan terbutaline. Biasanya diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan jalan pilihan dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.

B. BRONCHITIS KRONIS

1. DEFINISI
     Bronchitis akut adalah radang mendadak pada bronchus yang biasanya mengenai trachea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan “laringotracheobronchitis”. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan nafas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik, misalnya pada morbili, pertusis, difteri dan typhus abdominalis. Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus takeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Bronchitis kronis bukanlah merupakan bentuk menahun dari bronchitis akut. Walaupun demikian, pada perjalanan penyakit bronchitis kronis dapat ditemukan periode akut, yang menunjukkan adanya serangan bakteri pada dinding bronchus yang tidak normal. Infeksi sekunder oleh bakteri ini menimbulkan kerusakan yang lebih banyak sehingga akan memperburuk keadaan.

2. ETIOLOGI
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
a. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
b. Alergi
c. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.

Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :
a. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
b. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus.
c. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
d. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

3. PATOFISIOLOGI
    Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.
        Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme. Tidak seperti emfisema, bronchitis lebih mempengaruhi jalan nafas kecil dan besar dibandingkan pada alveolinya. Aliran udara dapat atau mungkin juga tidak mengalami hambatan.
Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus.
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hipoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit).
      Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.

4. MANIFESTASI KLINIK BRONCHITIS KRONIS
a. Penampilan umum : cenderung overweight, cyanosis akibat pengaruh sekunder polisitemia, edema (akibat CHF kanan), barrel chest.
b. Usia : 45 – 65 tahun
c. Pengkajian :
Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dyspnea dalam beberapa keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, sering infeksi pada sistem respirasi.
Gejala biasanya timbul pada waktu yang lama.
d. Jantung : pembesaran jantung, Cor Pulmonal, Hematokrit > 60%
e. Riwayat merokok Å
5. MANAGEMENT MEDIS BRONCHITIS KRONIS
Pengobatan yang utama ditujukan untuk mencegah dan mengontrol infeksi dan meningkatkan drainase bronchial menjadi jernih. Pengobatan yang diberikan :
a. Antimikrobial
b. Postural Drainage
c. Bronchodilator
d. Aerosolized Nebulizer
e. Surgical Intervention
C. EMFISEMA PARU
1. DEFINISI
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO). Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.
2. PATOGENESIS
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu :
a. Hilangnya elastisitas paru.
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
b. Hyperinflation Paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya Bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
d. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.

3. TIPE EMFISEMA
     Terdapat tiga tipe dari emfisema :
a. Emfisema Centriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa..
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
c. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.

4. PATOFISIOLOGI
     Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
      Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.

5. MEKANISME PENYAKIT
Asap tembakau
Polusi Udara
Gangguan pembersihan paru-paru
Peradangan bronchus dan bronchiolus
Obstruksi jalan nafas akibat peradangan
Hipoventilasi alveolar
Bronchiolitis kronik
Predisposisi Genetik
(defisiensi alfa antitripsin)
Sekat & jaringan penyokong hilang
Saluran nafas kecil kollaps saat ekspirasi
PLE (Emfisema Panlobular)
Dinding bronchiolus melemah dan alveoli pecah
Saluran nafas kecil kolaps sewaktu ekspirasi
Faktor-faktor yang tidak diketahui
Seumur hidup
PLE asimptomatik pada orang tua
CLE dan PLE
CLE Bronchiolitis kronik
CLE (Emfisema
Centriolobular)
Gambar 14 : Mekanisme Timbulnya Emfisema
(Sumber : Price, S.A., & Wilson, L.M., 1996)
6. MANIFESTASI KLINIK
a. Penampilan Umum
· Kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma
· Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
b. Usia 65 – 75 tahun.
c. Pengkajian fisik
· Nafas pendek persisten dengan peningkatan dyspnea
· Infeksi sistem respirasi
· Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam.
· Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
· Produksi sputum dan batuk jarang.
d. Pemeriksaan jantung
· Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor Pulmonal timbul pada stadium akhir.
· Hematokrit < 60%
e. Riwayat merokok
· Biasanya didapatkan, tapi tidak selalu ada riwayat merokok.
7. MEDICAL MANAGEMENT
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit dan mengobati obstruksi saluran nafas yang berguna untuk mengatasi hipoxia. Pendekatan terapi mencakup :
· Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja nafas.
· Mencegah dan mengobati infeksi
· Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
· Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi pernafasan.
· Support psikologis
· Patient education and rehabilitation.
Jenis obat yang diberikan :
· Bronchodilators
· Aerosol therapy
· Treatment of infection
· Corticosteroids
· Oxygenation

D. PENGKAJIAN DIAGNOSTIK COPD

  1. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma,peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
  2. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea,menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal :bronchodilator.
  3. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
  4. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
  5. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital(FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
  6. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
  7. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
  8. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
  9. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.
  10. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
  11. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia(bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
  12. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.


E. KOMPLIKASI COPD

  1. Hipoxemia --Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
  2. Asidosis Respiratory--Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
  3. Infeksi Respiratory--Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
  4. Gagal jantung--Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
  5. Cardiac Disritmia--Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
  6. Status Asmatikus--Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.


RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN COPD

Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC)
Tabel 4 : Rencana Asuhan keperawatan Klien COPD
No Diagnosa Keperawatan Perencanaan (NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1. Bersihan jalan nafas tak efektif yang berhubungan dengan : Bronchospasme Peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan, kental) Menurunnya energi/fatique
Data-data
Klien mengeluh sulit untuk bernafas
Perubahan kedalaman/jumlah nafas, penggunaan otot bantu pernafasan
Suara nafas abnormal seperti : wheezing, ronchi, crackles
Batuk (persisten) dengan/tanpa produksi sputum.
Status Respirasi :
Kepatenan Jalan nafas # dengan skala…….. (1 – 5) setelah diberikan perawatan selama……. Hari, dengan kriteria :
· Tidak ada demam
· Tidak ada cemas
· RR dalam batas normal
· Irama nafas dalam batas normal
· Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
· Bebas dari suara nafas tambahan
a. Manajemen jalan nafas
b. Penurunan kecemasan
c. Aspiration precautions
d. Fisioterapi dada
e. Latih batuk efektif
f. Terapi oksigen
g. Pemberian posisi
h. Monitoring respirasi
i. Surveillance
j. Monitoring tanda vital
2. Kerusakan Pertukaran gas yang berhubungan dengan : Kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekret, bronchospasme, air trapping). Destruksi alveoli
Data-data :
Dyspnea
Confusion, lemah.
Tidak mampu mengeluarkan sekret
Nilai ABGs abnormal (hipoxia dan hiperkapnia)
Perubahan tanda vital.
Menurunnya toleransi terhadap aktifitas.
Status Respirasi :
Pertukaran gas # dengan skala ……. (1 – 5) setelah diberikan perawatan selama…….
Hari dengan kriteria :
· Status mental dalam batas normal
· Bernafas dengan mudah
· Tidak ada cyanosis
· PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal
· Saturasi O2 dalam rentang normal
a. Manajemen asam dan basa tubuh
b. Manajemen jalan nafas
c. Latih batuk
d. Tingkatkan keiatan
e. Terapi oksigen
f. Monitoring respirasi
g. Monitoring tanda vital
3. Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
Status Nutrisi : Intake cairan dan makanan gas # dengan skala ……. (1 – 5) setelah diberikan
a. Manajemen cairan
b. Monitoring cairan
c. Status diet
No Diagnosa Keperawatan Perencanaan (NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) dengan :
Dyspnea, fatique
Efek samping pengobatan
Produksi sputum
Anorexia, nausea/vomiting.
Data :
Penurunan berat badan
Kehilangan masa otot, tonus otot jelek
Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa
Tidak bernafsu untuk makan, tidak tertarik makan perawatan selama…….
Hari dengan kriteria :
· Asupan makanan skala (1 – 5) (adekuat)
· Intake cairan peroral (1 – 5) (adekuat)
· Intake cairan (1 – 5) (adekuat)
Status Nutrisi : Intake Nutrien gas # dengan skala ……. (1 – 5) setelah diberikan perawatan selama……. Hari dengan kriteria :
· Intake kalori (1 – 5) (adekuat)
· Intake protein, karbohidrat dan lemak (1 – 5) (adekuat)
Kontrol Berat Badan gas # dengan skala ……. (1 – 5) setelah diberikan perawatan
selama……. Hari dengan kriteria :
· Mampu memeliharan intake kalori secara optimal (1 – 5) (menunjukkan)
· Mampu memelihara keseimbangan cairan (1 – 5) (menunjukkan)
· Mampu mengontrol asupan makanan secara adekuat (1 – 5) (menunjukkan)
d. Manajemen gangguan makan
e. Manajemen nutrisi
f. Terapi nutrisi
g. Konseling nutrisi
h. Kontroling nutrisi
i. Terapi menelan
j. Monitoring tanda vital
k. Bantuan untuk peningkatan BB
l. Manajemen berat badan
Keterangan :
Untuk intervensi secara kronologi dapat dilihat dari aktifitas tindakan yang dapat anda temukan dalam buku Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC)

Friday, April 18, 2014

COPD : Efek Peradangan Sistemik Pada PPOK Terhadap Sistem Kardiovaskular


Ismir Fahri*, Dianiati KS**, Faisal Yunus**
* Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Kedokteran Vaskular FKUI,
Jakarta
** Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-SMF Paru
RSUP Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah kondisi penyakit yang
dapat dicegah dan diobati dengan karakteristik berupa keterbatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara bersifat
progresif dan berkaitan dengan reaksi peradangan paru terhadap partikel
atau gas berbahaya, terutama disebabkan oleh asap rokok. Penyakit Paru
Obstruktif Kronik tidak hanya mempengaruhi kondisi paru tetapi juga memiliki
akibat sistemik yang penting. Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan jika
pasien mempunyai gejala batuk, sputum yang produktif atau sesak napas
dan riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis membutuhkan pemeriksaan
spirometri dengan didapatkannya volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1)/Kapasitas vital paksa (KVP) <0,7 yang menunjukkan ada pembatasan
aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya.1
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan keadaan yang ditandai
dengan kelemahan kemampuan untuk bernapas, mereka yang menderita
PPOK akan menanggung akibat dari kurangnya oksigen. Penurunan kadar
oksigen dalam sirkulasi dan jaringan tubuh, menempatkan pasien pada risiko
tinggi terhadap beberapa kondisi serius lainnya. Akhir-akhir ini PPOK
diketahui juga memiliki efek sistemik dengan manifestasi ekstraparu.
Komplikasi sistemik PPOK terdiri dari peradangan sistemik, penurunan berat
badan, gangguan muskuloskeletal, gangguan kardiovaskular, gangguan
hematologi, neurologi dan psikiatri.2
Penelitan epidemiologi menunjukkan penurunan fungsi paru pada
subjek PPOK dan terkait dengan angka kesakitan dan kematian. Mekanisme
yang mendasari manifestasi sistemik pada PPOK menjadi hal yang menarik,
karena manifestasi sistemik banyak terkait dengan angka kesakitan dan
kematian pasien PPOK.3 Penilaian dan penatalaksanaan yang tepat terhadap
komplikasi sistemik pada PPOK menjadi sangat penting dalam
mengembangkan penatalaksanaan lanjutan dan hasil yang lebih baik pada
2
pasien PPOK. Dari beberapa komplikasi peradangan sistemik pada pasien
PPOK diketahui angka kesakitan dan kematian terkait dengan komplikasi
kardiovaskular cukup tinggi, kejadian kardiovaskular merupakan alasan
utama pasien dirawat (sekitar 50% dari semua perawatan), sebagai
penyebab kedua kematian (sekitar 20-25% ) pada subjek dengan PPOK
ringan sampai sedang dikutip dari 1, maka tinjauan pustaka ini membahas efek
peradangan sistemik PPOK terhadap sistem kardiovaskular.
RESPONS PERADANGAN SISTEMIK PADA PPOK
Respons peradangan sistemik ditandai dengan ada mobilisasi dan
aktivasi sel inflamasi dalam sirkulasi, produksi protein fase akut dan
peningkatan mediator radang. Stress oksidatif dari radikal bebas memicu
disfungsi endotel dengan mengurangi vasodilatasi, pertumbuhan sel endotel
dan meningkatkan pembentukan serta robekan plak pada dinding pembuluh
darah.4 Efek peradangan sistemik pada PPOK dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Efek peradangan sistemik pada PPOK
Dikutip dari (5)
3
RESPONS FASE AKUT
Respons fase akut merupakan kunci dan komponen sistemik awal dari
timbulnya respons imun. C-reactive protein (CRP) adalah penanda biologi
yang kuat dari respons fase akut dan terkait dengan peningkatan risiko
penyakit jantung koroner (PJK) dan komplikasinya seperti infark miokard
akut, angina tidak stabil serta kejadian akut lainnya.6 Masuknya leukosit ke
dalam dinding pembuluh darah, dan pengambilan kolesterol low density
lipoprotein (LDL) oleh makrofag dan menimbulkan ketidakstabilan ateroma
pembuluh darah.6 Sin dan Man dikutip dari 7 melakukan penelitian kohort
(NHANES II), subjek dengan obstruksi aliran udara berat mengalami
peningkatan kadar CRP sebanyak 2,74 kali. Peningkatan kadar CRP pada
subjek dengan PPOK diperkirakan terkait langsung dengan kondisi PPOK
dan peradangan sistemik atau sebagai akibat dari PJK dan kebiasaan
merokok.7
Pinto-Plata dkk dikutip dari 8 menunjukkan ada peningkatan kadar CRP
pada subjek PPOK tanpa klinis PJK dan independen dari kebiasaan
merokok, serta berkurang pada pasien yang menggunakan kortikosteroid
inhalasi. Pengaruh terapi antiinflamasi lokal terhadap CRP dalam sirkulasi
didukung oleh penelitian Sin dkk dikutip dari 9 yang melaporkan penghentian
kortikosteroid inhalasi menghasilkan peningkatan kadar CRP pada subjek
dengan PPOK. Peningkatan kadar CRP dalam sirkulasi pada PPOK terkait
dengan mediator seperti interleukin (IL)-6 yang merupakan pengatur sitokin
utama dalam produksi CRP oleh sel hati. Kadar CRP juga meningkat pada
eksaserbasi PPOK. Sejak CRP digunakan sebagai penanda peradangan
sistemik dan terkait dengan beratnya penyakit kardiovaskular, diduga
peradangan sistemik memiliki peran utama dalam hubungan PPOK dengan
penyakit jantung iskemik.10
Protein fase akut lainnya seperti fibrinogen juga mengalami
peningkatan pada subjek PPOK dengan gejala bronkitis kronik (laki-laki 3,7
vs 3,35 g/l p 0,001; perempuan 3.64 vs 3,44 g/l p 0.001) dibandingkan pada
subjek tanpa gejala bronkitis kronik.11 Pada laki-laki dengan gejala bronkitis
kronik rerata kadar fibrinogen meningkat sebesar 11% sedangkan pada
perempuan meningkat sebesar 6%. Wedzicha dkk dikutip dari 12 menunjukkan
selama eksasebasi PPOK kadar fibrinogen plasma mengalami peningkatan
dan diperkirakan sebagai dasar terjadinya gangguan hemostasis maupun
trombosis serta meningkatkan kejadian kardiovaskular lanjut. Fowkes dkk
dikutip dari 13 memperlihatkan ada peningkatan D-dimer (produk penghancuran
fibrin) pada subjek dengan PPOK.
Hurst dkk dikutip dari 14 mencari 36 penanda biologi pada subjek dengan
eksaserbasi PPOK dan memperlihatkan bahwa konsentrasi CRP plasma
berguna dalam menentukan eksaserbasi PPOK, namun tidak
menggambarkan beratnya derajat PPOK. Penelitian ini juga menunjukkan
4
kaitan antara peradangan saluran napas bagian bawah dengan peradangan
sistemik serta kolonisasi saluran napas bagian bawah dengan kadar CRP,
sehingga diduga terdapat hubungan antara kolonisasi mikrobakteri atau
infeksi dengan saluran napas dan peradangan sistemik. Joppa dkk dikutip dari 15
memperlihatkan kadar CRP yang lebih tinggi pada subjek PPOK dengan
hipertensi paru (median 3,6 vs 1,8 mg/L p = 0,034), diperkirakan ada peran
peradangan sistemik yang ringan dalam patogenesis hipertensi paru pada
PPOK.
RESPONS SUMSUM TULANG
Bagian integral dari peradangan sistemik adalah perangsangan sistem
hematopoetik terutama pada sumsum tulang yang menghasilkan pelepasan
leukosit dan trombosit ke dalam aliran darah. Besaran leukosit berperan
sebagai peramal kematian yang independen terhadap rokok pada penelitian
dengan populasi besar. Kebiasaan merokok kronik meningkatkan jumlah
leukosit dalam darah termasuk neutrofil muda dengan kadar
mieloperoksidase serta 1-antitripsin yang tinggi, zat ini merupakan
penghambat alami protease serin dan bertanggung jawab terhadap
kerusakan dinding alveolar.10
Terashima dkk dikutip dari 16 mengunakan teknik khusus untuk melacak
sel leukosit dan menunjukkan bahwa merokok dapat merangsang sumsum
tulang melepaskan neutrofil muda yang banyak berada di kapiler paru. Lebih
jauh lagi penelitian ini menunjukkan bahwa monosit dilepaskan dari sumsum
tulang lebih dini dan cepat daripada neutrofil. Pelepasan monosit dari
sumsum tulang ini dipicu peradangan di paru.17 Monosit yang dilepaskan
berada di daerah peradangan dan berpindah ke rongga udara mengikuti
proses pematangan intravaskular.17 Monosit merupakan sumber makrofag
alveolus dan berakumulasi sebagai respons terhadap rokok.18 Makrofag ini
akan aktif langsung bila ada rokok dan menghasilkan monocyte
chemoattractant protein-1 (MCP-1) suatu kemokin yang diperkirakan
berperan penting dalam mempertahankan peradangan konik paru pada
pasien PPOK.18
MEDIATOR PERADANGAN SIRKULASI
Pasien PPOK memiliki nilai batas bawah dari beberapa penanda
proinflamasi yang tinggi. Peningkatan kadar tumor necrotizing factor (TNF) α
dan reseptornya (TNFR-55 dan TNFR-75) yang berhubungan dengan
aktivasi leukosit dan penurunan berat badan pada pasien PPOK.19
Peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 terjadi selama eksaserbasi.20 Penelitian lain
5
memperlihatkan peningkatan kadar IL-6 dan IL-1β pada perokok kronik tanpa
PPOK.21 Sitokin ini bertanggungjawab terhadap respons sumsum tulang yang
dipicu peradangan paru pada PPOK. Interleukin-8 (IL-8), faktor pertumbuhan
hemopoetik granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan IL-6 masingmasing
dapat merangsang sumsum tulang dan diperkirakan berperan
sebagai mediator respons sumsum tulang pada pasien PPOK.22
Interleukin-6 adalah mediator yang penting pada respons fase akut
dan sebagai perangsang potensial sumsum tulang dalam melepaskan
leukosit dan trombosit dan merupakan sitokin proinflamasi yang berperan
dalam pelepasan neutrofil dan monosit dari sumsum tulang akibat
peradangan paru.23 Peran utama IL-8 adalah menggeser neutrofil dari
pembuluh darah ke dalam sumsum tulang dan kemokin ini juga melepaskan
neutrofil muda ke dalam sirkulasi. Sel mieloid ini berperan penting dalam
mengatur reaksi peradangan pada paru dan pembuluh darah. Neutrofil
dilepaskan dari sumsum tulang oleh IL-6 dan G-CSF sedikit mengalami
perubahan bentuk serta banyak berada pada pembuluh darah kecil dan
dapat menimbulkan peradangan yang jauh dari lokasi peradangan di paru.24
Granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) merupakan
faktor pertumbuhan hemopoetik yang merangsang perubahan dan pelepasan
granulosit serta monosit dari sumsum tulang. Granulocyte macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF) mengaktifkan leukosit juga
memperpanjang ketahanan hidup sel ini dalam sirkulasi dan berperan
sebagai faktor degranulasi yang meningkatkan kerusakan jaringan oleh
granulosit.25
Interleukin-1β adalah sitokin reaksi akut yang meningkatkan produksi
sitokin-sitokin oleh banyak sel, merangsang hematopoesis, mengaktifkan sel
endotel, yang pirogenik dan memicu respons fase akut. Sitokin TNFα dan
IL-1 bersama IL-6 bertanggungjawab terhadap aktivasi respons fase akut.
Reaksi ini menghasilkan CRP, fibrinogen dan faktor koagulasi lainnya yang
terkait dengan kejadian tromboemboli dan kardiovaskular.26 Granulocyte
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), IL-1β dan IL-6 memiliki
kemampuan untuk menghasilkan reaksi peradangan sistemik dengan ada
peningkatan leukosit, trombosit dan protein-protein proinflamasi dan
protrombotik dalam sirkulasi. Mereka juga berperan dalam mengaktivkan
peredaran leukosit dan endotelium pembuluh darah yang memicu perlekatan
leukosit-endotelium dan migrasinya. Terdapat beberapa laporan yang
menunjukkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi pada PPOK dan
diimbangi oleh meningkatnya pengaturan dari mediator anti peradangan
seperti IL-1R dan IL-10 sehingga diperkirakan PPOK menghasilkan reaksi
proinflamasi.27
6
HUBUNGAN PARU DAN PERADANGAN SISTEMIK
Beberapa hewan percobaan dan model invitro menunjukkan
peradangan paru dapat berkembang menjadi peradangan sistemik. Pada
model kelinci, Terashima dkk dikutip dari 28 menunjukkan peradangan paru akibat
polusi udara merangsang sumsum tulang melepaskan leukosit dan kondisi
trombosis. Besarnya peran sumsum tulang berkaitan dengan jumlah partikel
yang fagosit oleh makrofag alveolus.28 Bila dipicu oleh rokok maka makrofag
alveolus akan mengeluarkan TNFα, IL-1, IL-6, IL-8 dan GM-CSF dan G-CSF,
yang dapat merangsang proliferasi dan pelepasan leukosit polimorfonuklear
dan monosit dari sumsum tulang.16
Merokok juga merangsang pelepasan IL-1, IL-8, G-CSF dan MCP-1
dari sel epitel bronkus melalui jalur oksidatif yang menunjukkan ada kaskade
mediator radang epitel saluran napas pada PPOK. Sebagai tambahan, sel
epitel saluran napas pada perokok dengan PPOK melepaskan lebih banyak
TGF-β1 dibandingkan yang tidak merokok dan selanjutnya mengatur
perubahan bentuk serta fibrosis saluran napas.29 Secara keseluruhan data
penelitian ini mengindikasikan makrofag alveolus dan epitel bronkus berperan
penting dalam mengolah gas berbahaya dan partikel udara. Banyak mediator
yang dihasilkan merupakan bagian dari reaksi sistemik pada PPOK dan
diperkirakan mediator ini masuk ke dalam sirkulasi dan memicu reaksi
peradangan sistemik. Data penelitian menunjukkan hubungan antara
peradangan sistemik dipicu oleh pengaruh partikel polusi udara pada paru
dan perkembangan aterosklerosis. Suwa dkk dikutip dari 30 menunjukkan kelinci
yang tinggi lemak mengalami aterosekloris setelah terpajan partikel
berbahaya dan menunjukkan reaksi peradangan sistemik. Reaksi
peradangan berhubungan dengan perkembangan aterosklerosis. Pada
kenyataannya luas aterosklerosis sesuai dengan konsentrasi makrofag
alveolus yang mengandung partikel ini.30 Hubungan peradangan lokal dan
sistemik pada PPOK dapat dilihat pada gambar 2.
Sebagai tambahan dengan terjadinya peradangan saluran napas sel
endotel menjadi aktif dengan meningkakan pengaturan intracellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) di
permukaaan plak aterosklerotik. Reseptor perlekatan ini sangat penting
dalam menarik leukosit seperti monosit dan limfosit ke dalam plak
aterosklerotik dikutip dari 31, sehingga diyakini bahwa peradangan saluran napas
karena polusi udara dan rokok dapat memicu peradangan sistemik melalui
aktivasi makrofag alveolus dan sel epitel bronkus dapat mempengaruhi
kondisi penyakit yang sudah ada di tempat lain seperti pembuluh darah.
Peradangan sisitemik pada PPOK sesuai dengan patogenesis
komplikasi terkait, namun belum ada penanda biologi dalam plasma yang
dapat digunakan secara rutin dalam praktik klinik. Pada tingkat populasi CRP
dan IL-6 serta fibrinogen plasma meramalkan angka kesakitan dan kematian
7
pada pasien PPOK, namun karena penanda ini paling banyak dihasilkan oleh
sel hati dan bukan di paru maka penanda ini kurang spesifik pada proses
paru. Penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penanda yang spesifik
terjadinya peradangan paru perlu dilakukan untuk menentukan
perkembangan penyakit PPOK.10
Gambar 2. Peradangan lokal dan sistemik pada PPOK
Dikutip dari (10)
HUBUNGAN PERADANGAN SISTEMIK PADA PPOK DAN PENYAKIT
KARDIOVASKULAR
Penelitan epidemiologi menunjukkan penurunan fungsi paru pada
subjek PPOK dan terkait dengan angka kesakitan dan kematian, bahkan
dengan memasukkan riwayat merokok. Penelitian Lung Health melaporkan
penurunan 10% fungsi paru (VEP1) pada pasien PPOK terkait dengan
peningkatan risiko kematian penyakit kardiovaskular sebesar 30% yang
terdiri dari aritmia, gagal jantung dan stroke dikutip dari 32 serta penyakit
kardiopulmoner seperti penyakit tromboemboli (termasuk risiko emboli paru
dan trombosis vena dalam (DVT)) serta kematian mendadak. Pada penelitian
Lung Health dikutip dari 33 kejadian kardiovaskular diperkirakan 42% pada
perwatan pertama dan 48% pada perawatan kedua dan berbeda dengan
perawatan karena infeksi saluran napas bawah yang hanya sekitar 15%.
Setiap penurunan VEP1 10% semua penyebab kematian akan meningkat
sebesar 14 %, kematian karena kardiovaskular sebesar 28% dan kejadian
koroner akut nonfatal sebesar 20%.10
8
Pada penelitian klinik Towards a Revolution in COPD Health
(TORCH), 27% kematian pada subjek dengan PPOK sedang sampai berat
(VEP1 < 60%) terkait langsung dengan kejadian kardiovaskular.34 Diduga
kejadian kardiovaskular menjadi penyebab terbanyak kematian pada pasien
PPOK bahkan pada kondisi PPOK yang sedang sampai berat. Penelitian ini
menunjukkan penurunan fungsi paru (VEP1/KVP < 70%) merupakan faktor
risiko untuk kejadian kardiovaskular. Bahkan pada penurunan fungsi paru
yang relatif kecil (VEP1 turun 10%) terjadi peningkatan risiko aritmia, kejadian
koroner akut dan kematian kardiovaskular sebanyak dua kali lipat dan
terbebas dari akibat merokok.10 Beberapa penelitian yang menunjukkan
hubungan antara fungsi paru dengan angka kematian dan kesakitan penyakit
kardiovaskular dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hubungan fungsi paru dengan angka kematian dan kesakitan penyakit
kardiovaskular
Rujukan Penelitian Risiko kardiovaskular
Sin dkk, 2005
Beaty dkk, 1995
Higgins dkk, 1970
Speizer dkk, 1989
Schunemann dkk,
2000
Sin dkk, 2005
Hole dkk, 1996
Engstrom dkk,2000
Tockman dkk, 1995
Sin dkk, 2003
Engstrom dkk,2001
Jousilahti dkk,1996
Wise dkk, 2006
NHANES I
Honolulu Heart
Program
Tecumsech cohort
study
Harvard six city study
Buffalo cohort study
Metaanalysis-80.000
subject
Renfrew and Paisley
cohort
“Men born in 1914”
study
Baltimore Longitudinal
study of aging
NHANES II
“Men born in 1914”
study
Population base study
TORCH study
VEP1 rendah risiko penyakit kardovaskular; RR =
5,6 untuk penyakit jantung iskemik.
VEP1 rendah dengan RR = 1,93 terhadap mortaliti
KV
VEP1<2L dengan RR = 5,03 terhadap mortaliti KV
VEP1 rendah dengan RR = 2,7 (wanita) RR = 1,4
(laki-laki) terhadap mortaliti KV
VEP1 rendah dengan RR = 1,9 (wanita) RR = 2,1
(laki-laki) terhadap mortaliti KV
RR = 1,75 untuk mortaliti KV pada subjek dengan
VEP1 rendah
AR untuk VEP1 rendah pada wanita 24% dan 26%
pada laki-laki
Penurunan yang cepat VEP1 meningkatkan
mortaliti KV
Pada yang tidak merokok, penurunan yang cepat
VEP1 meningkatkan mortaliti KV
Rasio VEP1/KVP <70% terhadap risiko perubahan
EKG infark miokard sbesar 2,1
Rasio VEP1/KVP <70% dengan RR = 1,7 kejadian
koroner
Rerata batuk kronik – meningkatkan risiko
kematian koroner 50%
VEP1< 60%, mortaliti KV 27% dalam 3 tahun
Keterangan : KV = kardiovaskular
Dikutip dari (10)
9
MEKANISME PERADANGAN SISTEMIK DAN ATEROSKLEROSIS
Patogenesis aterosklerosis merupakan hal yang kompleks dan
multifaktor. Peradangan sistemik ringan penting dalam memulai
pembentukan plak dan perkembangan penyakit aterosklerosis. Beberapa
penelitian epidemiologi berkaitan dengan peradangan sistemik terkait dengan
luasnya aterosklerosis, penyakit jantung iskemik, stroke dan kematian
koroner.10 Langkah penting dalam memulai plak aterosklerotik adalah aktivasi
endotelium pembuluh darah.15 Kondisi peradangan seperti diabetes, PPOK
atau kegemukan menyebabkan endotelium banyak mengekpresikan molekul
perlekatan permukaan seperti VCAM-1 yang memungkinkan sel darah putih
yang beredar menempel pada permukaan endotel yang teraktivasi memicu
semua rangkaian reaksi peradangan pada dinding pembuluh darah.10
Gambar 3. Mekanisme peradangan sistemik pada PPOK terhadap sistem kardiovaskular
Dikutip dari (14)
Beberapa molekul seperti CRP dapat meningkatkan proses
peradangan. C-reactive protein (CRP) dapat meningkatkan pengaturan
produksi sitokin peradangan, mengaktifkan sistem komplemen, meningkatkan
ambilan LDL oleh makrofag dan membantu perlekatan leukosit pada
endotelium pembuluh darah sehingga memperluas reaksi peradangan di
dinding pembuluh darah. C-reactive protein (CRP) juga berinteraksi dengan
sel endotel dan merangsang produksi IL-6, MCP-1 dan endotelin-1, yang
mengubah fungsi endotelium pembuluh darah. Penelitian Framingham
menunjukkan kadar CRP <1, 1 sampai 3, dan 3 mg/L terkait dengan kejadian
kardiovaskular ringan, sedang dan berat.35 Protein fase akut lain seperti
fibrinogen juga meramalkan kejadian kardiovaskular. Gan dkk dikutip dari 4
10
perbedaan rerata baku kadar CRP pada pasien PPOK dengan kelompok
kontrol sebesar 1,86 mg/L sedangkan untuk fibrinogen sebesar 0,37 g/L.
Peradangan sistemik pada kondisi peradangan kronik lainnya juga
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian kardiovaskular.10
Mekanisme PPOK dan pengaruhnya pada sistem kardiovaskular tidak
diketahui secara pasti, tetapi reaksi peradangan sistemik ringan terkait PPOK
berperan dalam penyakit kardiovaskular aterotrombotik pada pasien ini.
Diduga bahwa PPOK terkait dengan peradangan saluran napas dan paru
yang menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi seperti protein fase
akut, sitokin dan kemokin dalam aliran darah secara langsung maupun tidak
langsung. Mediator-mediator ini menimbulkan kondisi peradangan sistemik
yang menetap dan meningkatkan kemampuan koagulasi serta mengaktifkan
endotelium pembuluh darah yang menyebabkan peradangan pembuluh
darah, pembentukan plak, ketidakstabilan plak dan robekan plak.
Peradangan sistemik yang ringan ini juga merangsang sumsum tulang
melepaskan leukosit, monosit dan trombosit yang berperan dalam
peradangan pembuluh darah.10 Gambar 3 menunjukkan jalur potensial
peradangan sistemik pada PPOK dapat mengaktifkan pembuluh darah
sehingga terjadi aktivasi dan disfungsi endotel serta ketidakstabilan plak
aterosklerosis yang dapat menimbulkan kejadian seperti sindrom koroner
akut dan stroke.
KESIMPULAN
1. PPOK merupakan penyakit kronik jaringan paru dan perluasan reaksi
peradangan terkait dengan beratnya penyakit dan juga terkait dengan
respons peradangan sistemik.
2. Respons sistemik ditandai dengan aktivasi respons fase akut dan
pelepasan mediator radang dalam sirkulasi, perangsangan sumsum
tulang dalam melepaskan leukosit dan trombosit.
3. Komplikasi kardiovaskular pada PPOK berupa disfungsi ventrikel,
disritmia, aterosklerosis atau PJK.
4. Patogenesis dan perkembangan respons peradangan sistemik pada
PPOK terhadap penyakit kardiovaskular terkait banyak faktor dan masih
belum jelas sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Roisin RR, Rabe KF, Anzueto A, Bourbeau J, Calverley P, Casas A et al. Global
initiative for chronic obstructive lung disease. Medical communications resources;
2008.p. 1-32.
2. Khader A. Systemic effect in COPD. Pulmon 2007; 9(1):1-3.
3. Sin DD, Anthonisen NR, Soriano JB, Agusti AG. Mortality in COPD: role of
comorbidities. Eur Respir J 2006;28:1245-57.
4. Sin DD, Man SF, Tkac J. Therapeutic advances in respiratory disease: systemic
conequnces of COPD. SAGE 2007;1:47-59.
5. Man SF, Gan WQ. Systemic effects and mortality in chronic obstructive pulmonary
disease. BC Med J 2008;50(3):148-51
6. Torres JL, Ridker PM. Clinical use of high sensitivity C-reactive protein for the
prediction of adverse cardiovascular events. Curr Opin Cardiol 2003;18: 471-8.
7. Sin DD, Man SF. Why are patients with chronic obstructive pulmonary disease at
increased risk of cardiovascular diseases? The potential role of systemic inflammation
in chronic obstructive pulmonary disease. Circulation 2003;107:1514-9.
8. Pinto-Plata VM, Mullerova H, Toso JF, Feudjo-Tepie M, Soriano JB, Vessey RS, et al.
C-reactive protein in patients with COPD, control smokers and non-smokers. Thorax
2006;61:23-8.
9. Sin DD, Lacy P, York E. Effects of fluticasone on systematic markers of inflammation in
chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2004;170:760-5.
10. Sin DD, Eden SF, Chronic obstructive pulmonary disease: a chronic systemic
inflammatory disease. Respiration 2008;75:224-38
11. Jousilahti P, Salomaa V, Rasi V, Vahtera. Symptoms of chronic bronchitis, haemostatic
factors, and coronary heart disease risk. Atherosclerosis 1999;142: 403-7.
12. Wedzicha JA, Seemungal TA, MacCallum PK, Paul EA, Donaldson GC, Bhowmik A,
et al. Acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease are accompanied
by elevations of plasma fibrinogen and serum IL-6 levels. Thromb Haemost 2000;
84:210-5.
13. Fowkes FG, Anandan CL, Lee AJ, Smith FB, Tzoulaki I, Rumley A, et al. Reduced lung
function in patients with abdominal aortic aneurysm is associated with activation of
inflammation and hemostasis, not smoking or cardiovascular disease. J Vasc Surg
2006;43:474-80.
14. Hurst JR, Donaldson GC, Perera WR, Wilkinson TM, Bilello JA, Hagan GW, et al. Use
of plasma biomarkers at exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Am J
Respir Crit Care Med 2006;174:867-74.
15. Joppa P, Petrasova D, Stancak B, Tkacova R. Systemic inflammation in patients with
COPD and pulmonary hypertension. Chest 2006;130:326-33.
16. Terashima T, Klut ME, English D, Hards J, Hogg JC, van Eeden SF. Chronic cigarette
smoking causes sequestration of polymorphonuclear leukocytes released from the
bone marrow in pulmonary capillaries. Am J Respir Cell Mol Biol 1998;20;171-7.
17. Goto Y, Hogg JC, Whalen B, Shih C-H, Ishii H, van Eeden SF. Monocyte recruitment
into the lungs in pneumococcal pneumonia. Am J Respir Cell Mol Biol 2004;30:620-6.
18. Shapiro SD. The macrophage in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir
Crit Care Med 1999;160:S29-32.
19. Francia DM, Barbier D, Mege JL, Orehek J. Tumor necrosis factor- levels and weight
loss in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med
1994;150:1453-5.
12
20. Schols AM, Buurman WA, Brekel AJ, Dentener MA, Wouters EFM. Evidence for the
relation between metabolic derangements and increased levels of inflammatory
mediators in a subgroup of patients with COPD. Thorax 1996;51:819-24.
21. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient particulate
matter: relevance to chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc
2005;2:61-7.
22. Terashima T, English D, Hogg JC, Eeden SF. The release of polymorphonuclear
leukocyte from the bone marrow by interleukin 8. Blood 1998;92:1062-9.
23. Suwa T, Hogg JC, Englis D, Eeden SF. Interleukin-6 induced neutrophilia: contribution
of bone marrow release and demargination of intravascular neutrophils. Am J Physiol
2000;279:2954-60.
24. Eeden SF, Kitagawa Y, Sat Y, Hogg JC. Polymorphonuclear leukocytes released from
the bone marrow and acute lung injury. Chest 1999;116:S43-6.
25. Topham MK, Carveth HJ, McIntyre TM, Prescott SM, Zimmerman GA. Human
endothelial cells regulate polymorphonuclear leukocyte degranulation. FASEB J
1998;12: 733-46.
26. Ridker PM. Evaluating novel cardiovascular risk factors: can we better predict heart
attacks? Ann Intern Med 1999;130:933-7.
27. Dentener MA, Creutzberg EC, Schols AM, Mantovani A, van’t Veer C, Buurman WA,
et al. Systemic anti-inflammatory mediators in COPD: increase in soluble interleukin 1
receptor II during treatment of exacerbations. Thorax 2001;56: 721-6.
28. Terashima T, Wiggs B, English D, Hogg JC, Eeden SF. Phagocytosis of small carbon
particles by alveolar macrophages stimulates the release of PMN from the bone
marrow. Am J Respir Crit Care Med 1997;155:1441-7.
29. Takizawa H, Tanaka M, Takami K, Ohtoshi T, Ito K, Satoh M, et al. Increased
expression of transforming growth factor-1 in small airway epithelium from tobacco
smokers and patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Am J
Respir Crit Care Med 2001;163:1476-83.
30. Suwa T, Hogg JC, Quinlan KB, Ohgami A, Vincent R, van Eeden SF. Particulate air
pollution induces progression of atherosclerosis. J Am Coll Cardiol 2002;39:935-42.
31. Cybulsky MI, Iiyama K, Li H, Zhu S, Chen M, Iiyama M,et al. A major role for VCAM-1,
but not ICAM-1, in early atherosclerosis. J Clin Invest 2001;107:1255-62.
32. Sin DD, Wu L, Man SF. The relationship between reduced lung function and
cardiovascular mortality: a population-based study and a systematic review of the
literature. Chest 2005;127:1952-9.
33. Anthonisen NR, Connett JE, Kiley JP, Altose MD, Bailey WC, Buist AS, et al. Effects of
smoking intervention and the use of an inhaled anticholinergic bronchodilator on the
rate of decline of FEV1 . The Lung Health Study. JAMA 1994;272:1497-505.
34. Wise RA, McGarvey LP, John M, Anderson JA, Zvarich MT. Reliability of causespecific
mortality adjudication in COPD clinical trial. Proc Am Thorac Soc 2006;3:A120.
35. Sin DD, Man SF. Chronic obstructive pulmonary disease: a novel risk factor for
cardiovascular disease. Can J Physiol Pharmacol 2005;83:8-13.
13

COPD: LATIHAN ENDURANCE MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP LEBIH BAIK DARI PADA LATIHAN PERNAFASAN PADA PASIEN PPOK DI BP4 YOGYAKARTA

ISSN : 2302-688X Sport and Fitness Journal
Volume 1, No. 1 : 20 – 32, Juni 2013
20

Oleh: Siti Khotimah
Program Studi Magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana

ABSTRAK

     Kualitas hidup adalah keadaan individu dalam lingkup kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut. Kualitas hidup pasien PPOK amat penting dinilai karena berhubungan langsung dengan gejala yang dialami. Pada pasien PPOK terjadi peningkatan beban kerja pernapasan yang menimbulkan sesak napas sehingga pasien mengalami penurunan kualitas hidupnya. Terdapat teori adanya pengaruh latihan pernapasan dan latihan endurance terhadap peningkatan kualitas hidup.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan peranan latihan endurance meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK lebih baik daripada latihan pernapasan. Penelitian eksperimental kuasi dengan rancangan pre-test dan post-test control group design. Penelitian dilaksanakan di BP4 Yogyakarta dengan sampel 22 pasien PPOK yang mengalami penurunan kualitas hidup. Kualitas hidup pada pasien PPOK diukur dengan kuesioner SGRQ. Jumlah subyek penelitian dikelompokkan secara random dalam dua kelompok. Kelompok satu diberikan perlakuan latihan pernapasan tiga kali dalam satu minggu. Kelompok dua diberikan perlakuan latihan endurance dengan menggunakan ergocycle tiga kali dalam seminggu. Penelitian dilakukan selama 12 minggu. Data berupa nilai total SGRQ diambil sebelum dan sesudah perlakuan. Semua data di analisis menggunakan SPSS versi 16. Hasil uji statistik didapatkan data berdistribusi normal dan homogen, terjadi penurunan nilai total SGRQ yang bermakna pada latihan pernapasan dan latihan endurance dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Ini berarti bahwa latihan pernapasan dan latihan endurance sama sama dapat meningkatkan kualitas hidup secara bermakna. Rerata nilai total SGRQ sesudah perlakuan pada kelompok satu dan kelompok dua berbeda bermakna dimana nilai p < 0,05 yaitu p = 0,000, penurunan nilai total SGRQ kelompok dua lebih besar dari pada kelompok satu. Ini berarti bahwa latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik dibandingkan latihan pernapasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. Untuk itu diharapkan latihan endurance dapat digunakan pada pasien PPOK yang mengalami gangguan penurunan kualitas hidup.

Kata kunci : Latihan pernapasan, latihan endurance, SGRQ, kualitas hidup

ENDURANCE EXERCISE IMPROVES QUALITY OF LIFE BETTER THAN BREATHING
EXERCISE FOR PATIENT WITH COPD IN BP4 YOGYAKARTA
By: Siti Khotimah
Program Magister of Sport Physiology Udayana University

ABSTRACT
Quality of life is an individual state within the scope of capabilities, limitations, symptoms, and psychosocial natures to function in the desired range of roles in society and feel satisfied with that role. Quality of life of COPD patient’s considered very important because it relates directly to the symptoms experienced. In COPD patients increased work causes shortness of breath so that the patients had decreased quality of life. There has been indication that endurance exercise and breathing exercise improve quality of life in COPD patient. This study was aimed at testing endurance exercise in improving the quality of life of COPD patients. The study is a quasi experiment with pre-test and post-test control group design. The experiment was conducted in BP4 Yogyakarta. The number of samples was 22 patients with COPD who experienced of reducing quality of life. Quality of life in COPD patients measured by SGRQ questionnaires. The number of study subjects were then grouped at random into two groups. Control group one was given diaphragmatic breathing exercise and pursed lip breathing three times a week. Treatment group two was given endurance exercise three times a week. The study was conducted for 12 weeks. SGRQ total value of the data was measured before and after treatment. All data in the analysis using SPSS version 16. Data are destributed normal and homogen, a decrease in the total SGRQ meaningful on breathing exercises and endurance training with a value of p = 0.000 (p <0.05). This mean that breathing exercises and endurance exercises at same time can significantly improve the quality of life. The mean total SGRQ values after treatment in group one and group two significantly different, where the value of p <0.05, namely p = 0.000, a decrease of group two’s SGRQ total value greater than group one. This means that endurance exercise improves quality of life better than breathing exercises in COPD patients in BP4 Yogyakarta. It is expected to use endurance exercises in patients with COPD who experience mental decline in quality of life.

Keywords: Breathing exercises, endurance exercises, SGRQ, quality of life

PENDAHULUAN
    Tingkat kesejahteraan di Indonesia berubah, sehingga pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable disease). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi diantara orang dewasa adalah penyakit kardiovaskuler. Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Kecenderungan perubahan ini menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan.1
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.2
     Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyakit pernafasan yang prevalensi, tingkat morbiditas dan mortalitasnya meningkat dari tahun ke tahun. Angka kejadian PPOK di Indonesia diperkirakan mencapai 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6 persen. Jumlah kasus PPOK di BP4 Yogyakarta tahun 2007 dari 10 besar penyakit untuk pasien rawat jalan, PPOK menempati urutan ke 8 dengan 1401 kasus, dan rawat inap menempati uratan ke 5 dengan 51 kasus, sedangkan untuk tahun 2010 pasien rawat jalan menempati ururtan ke 6 dengan jumlah kasus 646 pasien dan pasien rawat inap menempati urutan ke 3 dengan 92 pasien (Laporan tahunan BP4 Yogyakarta). Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2002 bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3. PPOK di Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai penyakit yang menyebabkan kematian.3 Gejala klinis PPOK antara lain batuk, produksi sputum, sesak nafas dan keterbatasan aktivitas. Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran nafas pada parunya saja tetapi juga akibat pengaruh beberapa faktor, salah satunya adalah penurunan fungsi otot skeletal. Adanya disfungsi otot skeletal dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK. Penurunan aktivitas pada kehidupan sehari hari akibat sesak nafas yang dialami pasien PPOK akan mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya.4
       Faktor patofisiologi yang diperkirakan berkontribusi dalam kualitas dan intensitas sesak nafas saat melakukan aktivitas pada PPOK antara lain kemampuan mekanis (elastisitas dan reaktif) dari otot otot inspirasi, meningkatnya mekanis (volume) restriksi selama beraktivitas, lemahnya fungsi otot-otot inspirasi, meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif terhadap kemampuannya, gangguan pertukaran gas, kompresi jalan nafas dinamis dan faktor kardiovaskuler. Oleh karena itu pasien PPOK cenderung menghindari aktivitas fisik sehingga pasien mengurangi aktivitas sehari hari menyebabkan immobilisasi, hubungan pasien dengan lingkungan dan sosial menurun sehingga kualitas hidup menurun.4
     Kualitas hidup adalah kemampuan individu untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat serta merasa puas dengan peran tersebut.5 Kualitas hidup penderita PPOK merupakan ukuran penting karena berhubungan dengan keadaan sesak yang akan menyulitkan penderita melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggu status fungsionalnya seperti merawat diri, mobilitas, makan, berpakaian dan aktivitas rumah tangga.
       Peran fisioterapi dalam mengatasi penurunan kualitas hidup pasien PPOK dapat dilakukan dengan berbagai cara melalui program rehabilitasi paru pada penderita PPOK. Rehabilitasi paru pada penderita PPOK merupakan pengobatan standar yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala dan meningkatkan kapasitas fungsional secara optimal sehingga pasien dapat hidup mandiri dan berguna bagi masyarakat.5
         Untuk memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan thoraks dengan tehnik latihan yang meliputi latihan pernafasan diafragma dan pursed lips breathing.
Tujuan latihan pernafasan pada pasien PPOK adalah untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, memperbaiki mobilitas sangkar thorax, mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih efektif dan mengurangi kerja pernafasan sehingga sesak nafas berkurang dan mengakibatkan kualitas hidupnya meningkat.6
      Latihan endurance bertujuan untuk memperbaiki efisiensi & kapasitas sistem transportasi oksigen. Efek latihan endurance selain terjadi pembesaran serabut otot, juga terjadi pembesaran mitocondria yang akan meningkatkan sumber energi kerja otot, sehingga otot tidak mudah lelah. Ini sesuai dengan kebutuhan pasien PPOK yang kecenderungannya akan cepat lelah sehingga menimbulkan sesak yang berakibat mengurangi aktivitas hidupnya.7
          Selama ini tindakan Fisioterapi di rumah sakit atau di klinik pada pasien PPOK diberikan chest fisioterapi konvensional sehingga kemampuan pasien dalam meningkatkan kualitas hidupnya masih belum maksimal, maka kiranya perlu dilakukan penelitian tentang hal ini.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik daripada latihan pernafasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik daripada latihan pernafasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta.
Manfaat yang dapat diambil pada penelitian ini adalah untuk
(1) Memberikan wawasan ilmiah tentang penanganan PPOK.
(2) Memberikan bukti empiris dan teori tentang peningkatan kualitas hidup dan penanganan apa saja yang lebih berpengaruh pada kondisi ini sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
(3) Dapat mengungkapkan seberapa pengaruh latihan pernapasan dan latihan endurance dalam meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK sehingga dapat diambil langkahlangkah yang lebik spesifik dan efisien dalam meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.
(4) Dapat dipakai sebagai acuan untuk penelitian
peningkatan kualitas hidup pada kasus kardiorespirasi yang lain.

MATERI DAN METODE
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan di BP4 Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2012. Penelitian ini bersifat quasi eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian pre-test dan post-test control group design.8 Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian latihan pernafasan dan latihan endurance terhadap peningkatan kualitas hidup pasien PPOK. Nilai peningkatan kualitas hidup diukur dan dievaluasi dengan kuesioner SGRQ (St George’s Respiratory Questionnaire).9
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah pasien PPOK yang bersedia ikut dalam program penelitian di BP 4 Yogyakarta. Pengambilan sampel diambil secara randomisasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan peneliti hingga jumlahnya memenuhi yang ditargetkan. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien PPOK yang bersedia ikut dalam program penelitian di BP 4 Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Subjek penelitian berdasarkan rumus Pocock berjumlah 22 orang, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II, masing masing terdiri dari 11 orang.8 
Kelompok perlakuan I 
Kelompok perlakuan I diberikan latihan pernafasan dengan latihan pernafasan diafragma dan Pursed Lips Breathing selama 12 minggu tanpa menggunakan beban waktu 30 menit, 3 repetisi untuk latihan pernapasan diafragma dan 3 repetisi untuk pursed lips breathing dengan frekuensi 3x seminggu.

Kelompok perlakuan II
Kelompok perlakuan II diberikan latihan endurance dengan menggunakan ergocycle yang diatur dengan protocol YMCA sebagai berikut : untuk pemanasan pasien mengayuh sepeda 32 putaran per menit (RPM) selama 3 menit. Setelah tiga menit, HR di monitor ergocycle atau di alat pulsemeter dilihat dan dicatat. Setelah pemanasan kemudian latihan inti ada tiga tahapan, jika pada tahap pertama sudah mencapai 70% - 80% HR maksimal maka latihan dihentikan. Pada saat pemulihan ada dua cara yaitu dapat dilakukan dengan mengayuh sepeda atau tidak. Jika dengan mengayuh sepeda maka waktu yang dibutuhkan selama tiga menit, jika tidak mengayuh sepeda maka waktu yang dibutuhkan selama lima menit, dicatat HR yang diperoleh, selama 12 minggu dengan frekuensi 3x seminggu.
C. Cara Pengumpulan Data
Sebelum diberikan perlakuan baik kelompok perlakuan I maupun kelompok perlakuan II dilakukan pengukuran kuesioner SGRQ untuk mengetahui nilai total SGRQ (nilai total SGRQ sebelum perlakuan) dan satu minggu setelah selesai perlakuan dilakukan pengukuran kuesioner SGRQ (nilai total SGRQ setelah perlakuan).
Prosedur Pengukuran Kualitas Hidup
Untuk mengukur kualitas hidup penderita PPOK dengan menggunakan SGRQ yang terdiri dari 17 butir pertanyaan dibagi 3 komponen utama yaitu gejala penyakit (symptoms) yang berhubungan dengan gejala pada saluran nafas, frekuensi dan tingkat keparahan gejala tersebut terdapat pada pertanyaan nomor 1-8, aktivitas (activity) yang berhubungan dengan aktivitas yang menyebabkan sesak nafas atau dihambat oleh sesak nafas terdapat dalam pertanyaan nomor 11 dan nomor 15, dan dampak (impacts) yang meliputi suatu rangkaian aspek yang berhubungan dengan fungsi sosial dan gangguan psikologis akibat penyakit jalan nafas terdapat pada pertanyaan nomor 9 sampai nomor 10, nomor 12 sampai nomor 14, nomor 16 sampai nomor 17. Setiap jawaban kuesioner mempunyai bobot yang diambil secara empiris tiap komponen bobot untuk jawaban dijumlahkan. Bobot paling kecil nilainya 0, sedangkan bobot paling besar nilainya 100. (1) Untuk menghitung nilai total symptoms atau gejala adalah jumlah semua nilai symptoms dibagi dengan 662,5 dikalikan 100%. (2) Untuk menghitung nilai total impacts atau dampak adalah jumlah semua nilai impacts atau dampak dibagi dengan 2117,8 dikalikan 100%. (3) Untuk menghitung nilai total activity atau aktivitas adalah jumlah semua nilai activity atau aktivitas dibagi dengan 1209,1 dikalikan 100%. (4) Untuk menghitung nilai total SGRQ adalah jumlah dari ketiga komponen tersebut dibagi dengan 3989,4 dikalikan 100%. Semua hasil dinyatakan dalam %.9
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan SPSS For Window versi 16, langkahlangkah sebagai berikut :

  1. Statistik Diskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik fisik sampel yang meliputi umur, BP, HR, RR, TB, BB, FEV1, FEV1/FVC, nilai total SGRQ yang datanya diambil sebelum tes awal dimulai.
  2. Uji normalitas data (nilai total SGRQ) dengan Saphiro Wilk Test
  3. Uji homogenitas data (nilai total SGRQ) dengan uji Levene’s test,
  4. Uji komparabilitas dilakukan dengan membandingkan data ( nilai total SGRQ) pre test pada kelompok perlakuan latihan pernafasan dan pre test pada kelompok perlakuan latihan endurance, untuk mengarahkan pada pilihan pengujian hipotesis independent.
  5. Untuk mengetahui peningkatan kualitas hidup pada kelompok perlakuan I dengan uji komparasi data SGRQ antara sebelum dan sesudah latihan pada kelompok perlakuan latihan pernapasan dan kelompok perlakuan latihan endurance diuji dengan statistik paired t-test of related. Karakteristik Subjek
  6. untuk mengetahui latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik dari pada latihan pernafasan diuji dengan statistik Independent Sample ttest.
Rentangan Rerata±SB
KLP 1(n=11) KLP 2 (n=11)
Umur (th)
BP (mmHg)
DN (x/mnt)
RR (x/mnt)
BB (kg)
50-60
1110-140/80-90
76-100
20-24
33-74
58,09±2,63
127,27/84,55±1
1,04/5,22
83,82±4,24
22,73±1,62
48,82 ±8,28
57,27±3,64
129,09/84,55
±7,01/5,22
88,36±6,31
22,91±1,64
50,23±11,31
TB (cm) 148-165 155,73 ±3,64 155,18±4,97
FEV1
FEV1/FVC
total SGRQ
50-58
63-70
56-90
53,27±3,50
67,73±1,35
75,73±10,60
53,36±2,42
68,00±1,90
71,28±9,75
ISSN : 2302-688X Sport and Fitness Journal
Volume 1, No. 1 : 20 – 32, Juni 2013
26

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 1
Karakteristik pasien Sampel penelitian berjumlah 22 pasien PPOK yang berasal dari pasien rawat jalan dan rawat inap di BP4 Yogyakarta, tahun 2012. Umur subjek yang terlibat dalam penelitian ini, pada kelompok perlakuan latihan pernapasan berkisar antara 52-60 tahun dengan rerata 58,09±2,63 tahun. Pada kelompok latihan endurance berkisar antara 50-60 tahun dengan rerata 57,27±3,64 tahun, data statistik ini menunjukkan bahwa semua subyek tergolong dalam subyek yang mengalami penurunan daya tahan kardiorespirasi. Dikatakan demikian karena daya tahan kardiorespirasi meningkat dari masa kanak kanak dan mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, sesudah usia ini daya tahan kardiorespirasi akan menurun.
    Penurunan ini terjadi karena paru, jantung, dan pembuluh darah mulai menurun fungsinya. Kecuraman penurunan dapat dikurangi dengan melakukan latihan endurance secara teratur. Kondisi yang hampir sama juga dilaporkan oleh beberapa peneliti yaitu (a) Madina (2007) mendapatkan umur 25 pasien PPOK (28,4%) adalah 50-60 tahun;10 (b) Rahmatika (2009) mendapatkan umur pasien PPOK di RSUD Aceh Tamiang dari Januari-Mei 2009 tertinggi pada usia 60 tahun (57,6%).11
Dari jenis kelamin 15 orang (68,2%) berjenis kelamin laki – laki dan 7orang (31,8%) berjenis kelamin perempuan.
     Pengukuran FEV1 dan FEV1/FVC dilakukan untuk mengetahui dan menentukan derajat obstruksi pada masing masing subyek dengan menggunakan tes spirometri. Untuk mengetahui diagnosis PPOK apabila FEV1 < 80% dan FEV1/FVC < 70%. Untuk mengetahui derajat PPOK sedang apabila FEV1/FVC < 70% dan 50% ≤ FEV1 < 80%. Hasil pemeriksaan spirometri pada penelitian ini berdasarkan GOLD semua kelompok perlakuan latihan pernapasan dan kelompok perlakuan latihan endurance termasuk PPOK sedang karena FEV1/FVC < 70 % dan 50% < FEV1 < 80% prediksi.12
Hal ini sesuai dengan kriteria inklusi dalam penelitian ini. Semakin meningkatnya usia maka akan terjadi penurunan nilai rata rata FEV1 dan FVC. Semakin lanjut usia seseorang otot otot pernapasan semakin lemah.
     Perkembangan jaringan paru dan kekuatan dari sistem muskuloskeletal pada rongga dada berperan terhadap besarnya nilai FEV1 dan FVC.13
Dari data diatas jelas bahwa rata rata nilai total SGRQ baik kelompok latihan pernapasan maupun kelompok latihan endurance tinggi yang berarti kualitas hidupnya jelek sehingga membutuhkan upaya untuk peningkatan.
Distribusi dan Varians Hasil Nilai Total
SGRQ
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas 
Data Nilai Total SGRQ
Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Nilai Total
SGRQ
P. Uji Normalitas
(Saphiro Wilk- Test)
P. Homogenitas
(Levene Test)
Kelompok
1
Kelompok
2
Sebelum perlakuan 0,237
0,787 0,458
Sesudah perlakuan 0,316
0,972
Berdasarkan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk Test dan uji homogenitas dengan Levene Test data nilai total SGRQ sebelum dan sesudah perlakuan, menunjukkan nilai p untuk ke dua data tersebut lebih besar dari 0,05 (p > 0,05). Dengan demikan data hasil nilai total SGRQ sebelum dan sesudah perlakuan pada ke dua kelompok, berdistribusi normal dan homogen sehingga uji selanjutnya digunakan uji parametrik.14
Komparabilitas Hasil Nilai Total SGRQ Sebelum Pelatihan
Tabel 3
Rerata nilai total SGRQ Sebelum Perlakuan Pada Ke Dua Kelompok
Kelompok Subjek N Rerata±SB t p
Perlakuan latihan pernapasan
1
1
75,69±10,60
-1,1015 0,322
Perlakuan latihan ergocycle
1
1
71,28±9,75
Hasil uji statistik menunjukkan nilai p untuk hasil nilai total SGRQ sebelum perlakuan di antara kedua kelompok perlakuan lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) tercantum pada Tabel 3.
Hal ini berarti rerata hasil nilai total SGRQ sebelum perlakuan di antara ke dua kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna. Dengan demikian hasil nilai total SGRQ sebelum perlakuan di antara kelompok latihan pernapasan dan kelompok latihan endurance adalah sama.
Tabel 4
Uji Beda Rerata Penurunan nilai total SGRQ
Awal dan Akhir Perlakuan
Kelompok
Rerata nilai total SGRQ
±SB
Be
Sebelu da t P
m
Perlaku
an
Sesudah
Perlakuan
Perlakuan
latihan
pernapasan
75,73±1
0,60
64,09±9,92
11,
64
6,81
5
0,0
00
Perlakuan latihan endurance
71,28±9
,75
40,64±10,74
30,
64
10,3
9
0,0
00
ISSN : 2302-688X Sport and Fitness Journal
Volume 1, No. 1 : 20 – 32, Juni 2013
28
Tabel 4 menunjukkan beda rerata penurunan nilai total SGRQ sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok memiliki nilai p lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing kelompok terjadi peningkatan kualitas hidup sebelum dan sesudah perlakuan secara bermakna. Dengan demikian latihan pernapasan dan latihan endurance dapat meningkatkan kualitas hidup.
      Efek Latihan Pernapasan Dan Latihan Endurance Terhadap Peningkatan Kualitas Hidup
Berdasarkan kajian teori, pasien PPOK mengalami penurunan kapasitas angkut oksigen darah arteri, kelemahan dari otot bantu napas, cardiac output yang rendah, deconditioning serta adanya gangguan ventilasi dan perfusi sehingga beban kerja pernapasan meningkat.
     Disamping itu kebutuhan oksigen pada pasien PPOK tinggi, sehingga apabila terjadi kekurangan pada ambilan oksigen maka akan terjadi juga peningkatan beban kerja pernapasan. Latihan pernapasan dan latihan endurance dengan ergocycle sama sama mempunyai pengaruh peningkatan dalam ambilan oksigen maksimal dan peningkatan volume tidal serta penurunan frekuensi pernafasan sehingga otot pernafasan lebih efektif dan terjadi penurunan beban kerja pernafasan karena tidak banyak energi yang terbuang maka pasien tidak mudah lelah sehingga dapat melakukan aktivitas sehari hari dan kualitas hidupnya dapat meningkat.3,5
     Latihan endurance diharapkan dapat meningkatkan ketahanan, menurunkan ventilasi dan sesak nafas selama aktivitas serta dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk menghantarkan lebih banyak oksigen menuju otot, hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan yang terjadi pada otot dan sistem kardiovaskuler. Hal ini akan mengakibatkan cardiac output dan stroke volume menjadi meningkat serta denyut nadi istirahat menjadi turun sehingga terjadi peningkatan efisiensi kerja jantung dan pasien dapat melakukan aktivitas sehari hari dan kualitas hidupnya meningkat.15
     Tujuan latihan pernafasan pada pasien PPOK adalah untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, memperbaiki mobilitas sangkar thorax, mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih efektif dan mengurangi kerja pernafasan sehingga sesak nafas berkurang dan mengakibatkan kualitas hidupnya meningkat.6,16

Efektifitas Latihan Pernapasan dibandingkan Latihan Endurance terhadap Peningkatan Kualitas Hidup
Untuk mengetahui perbandingan dari efek ke dua perlakuan dapat dilihat melalui uji t - tidak berpasangan (t-independent test). Berdasarkan uji t - tidak berpasangan (Tabel 5) menunjukkan bahwa rerata nilai total SGRQ sesudah perlakuan di antara kelompok latihan pernapasan dan latihan endurance berbeda bermakna dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) yaitu p = 0,000 dimana penurunan nilai total SGRQ kelompok dua lebih besar dari kelompok satu. Dengan demikian hipotesisnya terbukti yakni latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik dibandingkan latihan pernapasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta.
Tabel 5
Rerata Penurunan Nilai Total SGRQ Sesudah Perlakuan Pasien PPOK Kelompok N (orang)
Rerata
Sesudah±SB
t p
Perlakuan
latihan
pernapasan
11 64,09±9,92
5,321 0,000
Perlakuan
latihan
endurance
11 40,64±10,74
Untuk mengetahui gambaran peningkatan kualitas hidup, hasil perlakuan latihan pernapasan dan latihan endurance dapat dilihat dari penurunan nilai total SGRQ , yang disajikan pada Grafik 1.
Grafik 1
Rerata Hasil nilai total SGRQ Awal
(Sebelum) dan Akhir (Sesudah)
Berdasarkan Grafik 1 dapat dilihat bahwa ada perbedaan penurunan nilai total SGRQ pada ke dua kelompok perlakuan. Rerata penurunan nilai total SGRQ pada kelompok-2 lebih besar 19 point daripada kelompok-1. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penurunan nilai total SGRQ yang bermakna antara kelompok I dan II, dimana kelompok perlakuan II meningkatkan kualitas hidup lebih baik daripada kelompok perlakuan I.

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik dari pada latihan pernapasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. Oleh karena itu peneliti menyarankan (1) Latihan pernapasan dan latihan endurance dapat digunakan pada pasien PPOK yang mengalami gangguan penurunan kualitas hidup, (2) Dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Klp I Klp II
Tes
awal
ISSN : 2302-688X Sport and Fitness Journal
Volume 1, No. 1 : 20 – 32, Juni 2013
30
peningkatan kualitas hidup pasien PPOK dengan jangka panjang dan sampel yang lebih besar mengingat prevalensi dan mortalitinya akan terus meningkat pada dekade mendatang dan penurunan fungsi paru pada PPOK lebih progresif dibandingkan paru normal pertahunnya, (3) Dapat dilakukan karantina pada penelitian
selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan lebih akurat dan (4) Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan perlakuan latihan aerobik.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Sugiono. 2010. Pengaruh Kombinasi Tindakan Fisioterapi Dada dan Olahraga Ringan Terhadap Faal Paru,Kapasitas Fungsional dan Kualitas Hidup Penderita PPOK.(tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara. Available from: URL: http://repository.usu.ac.id/123456789/20847/ chapterII.pdf. diakses tanggal 22 November 2011.
  2. PDPI. 2003 .Konsensus PPOK. Available at: URL:http: www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf. diakses tanggal 1 November 2011 pursed-lipbreathing. html diakses tanggal 11 November 2011.
  3. Ichwan. 2009. ”Studi Deskriptif Gambaran Hasil Spirometri pada Pasien Pasien PPOK di RSUP DR.Wahidin Sudirohusodo Makasar”(tesis). Makasar: Universitas Hasanudin. Available from: URL:http://bahankuliahkedokteran.blogspot.com.diakses tanggal 23 Oktober 2011.
  4. Celli, B. R. MacNee, W. Agusti, A dan Anzueto, A. 2004. Standards for the Diagnosis and Treatment of Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Thoracic Society dan European Respiratory Society. New York.
  5. Ikalius, Yunus, F. Suradi, Rahma, N dan Adiprayitno. 2006. “Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional pada Penderita PPOK Setelah Rehabilitasi Paru Dinilai dengan SGRQ dan Uji Jalan 6 Menit.”(tesis). Jakarta: Univesitas Indonesia. Available from: URL: http://www.pulmoISSN : 2302-688X Sport and Fitness Journal Volume 1, No. 1 : 20 – 32, Juni 2013 31 ui.com/tesis/Ikalius.pdf. diakses tanggal 4 November 2011.
  6. Basuki, N. 2008. Fisioterapi Kardiopulmonal. Politehnik Kesehatan Surakarta.
  7. Mador, J. M. 2004. Endurance and Strength Training in Patients With COPD. Available from: URL:http://chestjournal.chestpubs.org/site/misc/reprints.xhtml diakses tanggal 27 Juli 2011.
  8. Poccok, S.J. 2008. Clinical Trials A Practical Approach. New York: A Willey Medical Publication.
  9. Jones, P.W. 2008. St George’s Respiratory Questionnaire Manual. London: St George’s University oLondon.
  10. Madina, D. S. 2007. Nilai Kapasitas Vital Paru dan Hubungannya dengan Karakteristik Fisik Pada Atlet Berbagai Cabang Olahraga. Available from: URL: http://www.scribd.com/advenp/d/8918835-Nilai-Kapasitas-Vital-Paru diakses tanggal 20 Juli 2011
  11. Rahmatika, A. 2009. Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang dirawat inap diRSUD Aceh Tamiang Tahun 2007-2008. Available from : URL://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14686/1/10E00356.pdf. diakses tanggal 11 November 2011.
  12. GOLD. 2009. Guidelines Pocket Guide to COPD. Available at: URL: http://www.goldcopd.org/guidelinespocket-guide-to-copd diagnosis.html.diakses 1 Desember 2011.
  13. Virani, N. 2001. Pulmonary Function Studies in Healhy non Smoking Adults in Ashram. SA, Pondicherry. Indian J. Med Res 2001: 114.
  14. Dahlan, S.M. 2011. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
  15. Abidin, A. Yunus, F. Wiyono, W. H dan Ratnawati, A. 2007. Manfaat Rehabilitasi Paru dalam Meningkatkan atau Mempertahankan KapasirasISSN : 2302-688X Sport and Fitness Journal volume 1, No. 1 : 20 – 32, Juni 2013Fungsional dan Kualitas Hidup Pasien PPOK di RSUP Persahabatan. J Respir Indo.29.
  16. Nala, N. 2011. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: Udayana University Press